Berikut ini adalah daftar artikel yang ditulis oleh Pdt. DR. Rahmiati Tanudjaja.
Kehidupan spiritualitas seseorang bukan hanya merupakan topik perbincangan di kalangan orang beragama atau para teolog saja. Pada waktu buku Daniel Goleman -seorang doktor psikologi dari Harvard- yang berjudul Emotional Intelligence terbit pada 1995, para pakar pendidikan dan bidang lain, maupun orang awam mulai ramai membahas dan menulis tentang kepentingan dan peran kecerdasan emosi yang dikaitkan dengan keefektifan kecerdasan intelektual.1 Beberapa tahun kemudian, yaitu tahun 2000, buku berjudul SQ: Spiritual, Intelligence-The Ultimate Intelligence karya Danah Zohar, seorang psikolog, dan fisikawan Ian Marshall, menambah, atau dapat dikatakan, menggeser topik pembahasan dan penulisan mengenai EI. Kecerdasan spiritual dianggap sebagai faktor penentu bagi keefektifan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi.
Orang-orang pun mulai memberikan definisi mengenai kecerdasan spiritual. Zohar, salah seorang pencetus SQ, membuka pembahasan tentang SQ di bukunya dengan memberikan definisi tentang SQ yang dikaitkan dengan IQ dan EQ:
SQ yang saya maksudkan adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk mengfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita.2
Apabila EQ memampukan seseorang mengambil keputusan untuk bersikap tepat dalam situasi yang dihadapinya, maka SQ memampukan seseorang untuk memutuskan apakah ia mau berada di dalam situasi seperti itu. Jadi, EQ bekerja dalam batasan situasi sedangkan SQ memampukan seseorang untuk dapat mengubah atau memperbaiki situasi yang dihadapinya. Zohar juga berpendapat bahwa SQ tidak harus melibatkan agama.3
Margot Cairnes, seorang pakar pendidikan dan pakar dalam menyusun strategi, memberikan definisi yang mengkonfirmasi apa yang telah dinyatakan oleh Zohar dengan mengatakan bahwa SQ adalah kemampuan seseorang untuk bertanya, berpikir dengan kreatif, mengubah aturan-aturan, bekerja dengan efektif dalam situasi yang berubah melampaui batasan-batasan yang ada, menembus halangan-halangan yang ada dan membuat inovasi.4
Apabila diperhatikan dengan seksama, maka definisi-definisi berikut ini pun bernada serupa. Ram Mohan, seorang guru Vendata, menyatakan:
Spiritual intelligence is about the growth of a human being. It is about moving on in life. About having a direction in life and being able to heal ourserves of all the resentment we carry. It is thinking of ourselves as an expression of a higher reality. It is also about how we look at the resources available to us. We realize that nature is not meant to be exploited. Ultimately, we discover freedom from our sense of limitation as human beings and attain moksha.5
Anand Tendolkar, seorang pemimpin lokakarya kepemimpinan, mengatakan:
For me spiritual intelligence is about pondering over my life's purpose. Just being in touch with that question is fulfilling. Finally I realize that there is an immensity to me. As I move along the path, deeper levels of myself get unfolded, leading to fulfillment.6
Sebagaimana Zohar, para pakar yang lain pun percaya bahwa seseorang tidak harus beragama untuk dapat memiliki kecerdasan spiritual.
Berbeda dengan yang telah dinyatakan di atas, maka berikut ini adalah pendapat-pendapat yang menyatakan secara eksplisit bahwa SQ tidak dapat terlepas dari kepercayaan seseorang kepada Tuhan, yang disebut agama formal oleh para pakar di atas. Gordon Moyes, seorang penganut Wesleyan, menganjurkan seseorang untuk memiliki hubungan spiritual yang benar dengan Allah jika ingin memiliki SO, IQ dan EQ yang produktif sebagaimana seharusnya.7 Meskipun para teolog berikut tidak memakai istilah kecerdasan spiritual (SQ), namun dari pendefinisian mereka tentang spiritualitas, bisa dikatakan yang mereka bahas adalah hal yang sama. J. I. Packer dalam pengantar buku Worldly Saints karya Leland Ryken, berkomentar tentang kedewasaan spiritualitas dalam konteks orang puritan, sebagai berikut:
Maturity is a compound of wisdom, goodwill, resilience, and creativity. Puritan ... they were great souls serving a great God. In them, clear-headed passion and warm-hearted compassion combined. Visionary and practical, idealistic and realistic too, goal oriented and methodical, they were great believers, great hopers, great doers, and great sufferers.8
Memang ada sebagian teolog yang menjelaskan spiritualitas seseorang terpisah dari realita kehidupan. Bahkan bukan dalam penjelasan saja, dalam praktek kehidupan sehari-hari pun keduanya dipisahkan. Sehingga, semakin tinggi spiritualitas seseorang, maka seharusnya semakin jauh is dari kehidupan sekuler. Menanggapi pernyataan itu, Packer menulis bahwa orang Puritan tidaklah demikian:
There were for them no disjunction between sacred and secular; all creation, so far as they were concerned, was sacred, and all activities, of whatever kind, must be sanctified, that is, done to the glory of God. So, in their heavenly minded ardor the Puritans became men and women of order, matter-of-fact and down-to-earth, prayerful, purposeful, practical. Seeing life whole, integrated contemplation with action, worship with work, labor with rest, love of God with love of neighbor and of self, personal with social identity, and the wide spectrum of relational responsibilities with each other, in a thoroughly conscientious and thought-out way.9
Francis A. Schaeffer dengan tegas menyatakan, "The first point which we must make is that it is impossible even to begin living the Christian life, or to know anything of true spirituality, before one is a Christian." 10 Lawrence O. Richards menjabarkan beberapa definisi tentang spiritualitas yang pada intinya menyatakan bahwa spiritualitas seseorang tidak terpisahkan dari relasi orang tersebut dengan Allah. Sedangkan relasi dengan Allah merupakan dasar relasi orang itu dengan sesama manusia dan yang lainnya di dunia ini. Irish V. Cully, seorang edukator Protestan, percaya bahwa hidup di hadapan Allah menolong seseorang untuk memiliki suatu kehidupan yang selaras dengan tujuan Allah bagi dirinya dan dunia ini.11 Pada dasarnya kehidupan spiritualitas seseorang tidak boleh dilepaskan dari realitas kehidupan orang tersebut.
Berdasarkan definisi-definisi di atas maka dapat ditarik dua kesimpulan. Pertama, adanya mereka yang berpendapat bahwa kecerdasan spiritual tidak bisa dilepaskan dari agama formal yang dianut oleh seseorang, di mana Tuhan terlibat di dalamnya. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa kecerdasan spiritual seseorang tidak selalu berkaitan dengan agama formal. Jadi, tidak ada keterlibatan Tuhan sama sekali. Dengan kata lain, seorang ateis atau humanis bisa saja memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi sedangkan seseorang yang menganut agama formal tidak memilikinya.
Setelah pembahasan definisi, orang-orang pun mulai membahas bagaimana cara seseorang mencapai kecerdasan spiritual yang tinggi. Apakah itu dapat dipelajari? Tentu saja semua itu bergantung pada pendefinisian yang dianut olch seseorang. Apabila definisi kecerdasan spiritual bertitik tolak dari manusia dan diakhiri oleh manusia, maka kecerdasan spiritual dapat dicapai atas usaha yang dimulai dan diakhiri oleh manusia. Dengan kata lain, sejauh mana ia berusaha, sejauh itu jugalah kecerdasan spiritualnya. Apabila definisi kecerdasan spiritual bertitik tolak dari kerja sama Tuhan dengan orang itu dan dalam proses pertumbuhannya juga melibatkan kerja sama Tuhan dengannya, maka ketinggian kecerdasan spiritual seseorang bergantung kerja samanya dengan Tuhan. Jika definisi kecerdasan spiritual itu hanya bertitik tolak dari Tuhan dan melibatkan kerja sama Tuhan dan manusia dalam proses pencapaian ketinggiannya, maka kecerdasan spiritual hanya bisa diawali oleh campur tangan Tuhan dan proses pertumbuhannya melibatkan Tuhan dan orang itu sendiri.
Bagaimana seseorang bisa tahu bahwa ia sudah memiliki kecerdasan spiritual yang seharusnya jika ia tidak memiliki acuan yang mutlak? Baik ateis, humanis ataupun yang lainnya, pada akhirnya akan mengacu pada apa yang dianggap tolok ukur oleh diri mereka masing-masing. Berbicara tentang definisi dan cara mencapai kecerdasan spiritual, sebagai orang Kristen tentu saja acuan kita adalah firman Tuhan. Karena itu, sesuai dengan konteks dan maksud penulisan artikel ini, selanjutnya pembahasan mengenai kecerdasan spiritual12 akan dibatasi dalam konteks kekristenan saja.
Ada beberapa tolok ukur yang dipakai oleh orang Kristen pada zaman ini untuk mengukur spiritualitas seseorang: Pertama, keterlibatan seseorang dalam aktivitas-aktivitas kerohanian. Contohnya, semakin sering ia mengikuti persekutuan doa atau ke gereja maka ia dinilai lebih rohani dari yang tidak melakukannya. Kedua, keterlibatan seseorang dalam berbagai pelayanan sosial, misalnya, orang yang banyak terlibat dalam menolong dan berjuang untuk orang lain yang terkena bencana atau dilecehkan oleh sesamanya, maka orang tersebut dinilai memiliki kepekaan rohani yang lebih tinggi dari yang lain. Ketiga, penampakan fenomena supranatural melalui kehidupannya, misalnya, orang yang dapat mendemonstrasikan berbagai macam mujizat atau orang yang mengalami berbagai macam kejadian yang bersifat supranatural, maka ia dinilai lebih dekat hubungannya dengan Tuhan dibandingkan dengan yang tidak memiliki pengalaman yang demikian. Keempat, penampakan pola hidup yang menjauhkan diri dari kegiatan "duniawi." Karena itu, orang yang tidak pernah nonton ke bioskop, tidak pernah ke kafe atau ke pesta dansa dinilai lebih kudus dari orang yang suka pergi ke tempat-tempat seperti itu. Kelima, pemakaian atribut kristiani. Misalnya, orang yang selalu bawa Alkitab, pakai aksesori Kristen (kalung salib, anting salib, T -Shirt berslogan atau bergambar kristiani) atau selalu mendengarkan lagu-lagu Kristen dianggap lebih cinta Tuhan dari yang tidak memakainya. Apakah itu semua benar-benar dapat dipakai sebagai suatu ukuran untuk pencerminan spiritualitas Kristen yang sejati?
Pembahasan berikut akan diawali dengan definisi spiritualitas Kristen yang dilanjutkan dengan titik tolak spiritualitas Kristen, dan kriteria serta proses pertumbuhannya. Keseluruhan pembahasan akan mengacu pada kebenaran firman Tuhan yang dibandingkan pula dengan pemikiran-pemikiran dari teolog-teolog yang sudah membahas mengenai hal ini.
DEFINISI SPIRITUALITAS KRISTEN
Spiritualitas Kristen adalah keberadaan seseorang yang berada di dalam relasi yang benar dengan Allah, sesama, dan ciptaan yang lain. Yang dimaksudkan dengan benar di sini bukan berbicara tentang what is (apa yang terjadi), melainkan what ought to (apa yang seharusnya terjadi). Pada waktu kita berbicara tentang apa yang seharusnya terjadi, maka tentu saja sebagai orang Kristen kita mengacunya pada apa yang dinyatakan oleh firman Tuhan. Sejak Allah menciptakan segalanya, Ia telah menetapkan:
Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi" (Kej. 1:26-28).
Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (Mat. 22:37-39).
Ayat-ayat di atas menyatakan bahwa sejak awal manusia diciptakan untuk menjadi gambar Allah, yaitu seseorang yang mencerminkan kemuliaan Allah dalam seluruh hidupnya. Setiap manusia harus memperlakukan dirinya dan sesamanya sebagai gambar Allah. Sedangkan relasi dengan ciptaan lain adalah relasi antara penguasa dan yang dikuasai, pengelola dan yang dikelola, serta pemelihara dan yang dipelihara. Semua itu dijalankan berdasarkan pada wibawa dan aturan ilahi yang diberikan kepada manusia. Manusia tidak bisa melakukannya sesuai dengan pola pikir dan kehendaknya sendiri (lihat bagan 1), ataupun sesuai dengan pola pikir dunia ini yang terus menghantui kita. Sehubungan dengan hal ini Richard Pratt, Jr. berkomentar:
The biblical view of human dignity addresses our modern world in the same two ways. First, it helps us look at ourselves as we ought. We must learn to deal with a world that constantly assails our own sense of honor.... Second, Moses' perspective also teaches us how to treat others. Christian are as guilty as the world in showing favoritism.13
Jadi, spiritualitas menurut firman Tuhan adalah keberadaan seseorang yang tahu bagaimana ia harus berelasi dengan Tuhan, sesama, dirinya sendiri dan ciptaan lain dan hidup berdasarkan apa yang ia tahu tersebut. Pengetahuan itu sendiri tidak bersumber dari pola pikir manusia melainkan harus bersumber dari pola pikir Allah yang telah dinyatakan melalui firmanNya. Ia sebagai Pencipta segala sesuatu di dunia ini, la jugalah yang mengetahui bagaimana semua ciptaan-Nya harus menjalani kehidupan mereka masing-masing.
TITIK TOLAK SPIRITUALITAS KRISTEN
Spiritualitas Kristen tidak berawal dari hadirnya seseorang di tempat ibadah atau terlibatnya seseorang dalam aktivitas keagamaan (lihat bagan 2). Kitab Yesaya menyatakan bahwa keterlibatan seseorang dengan berbagai upacara dan aktivitas keagamaan tidak menjamin bahwa orang tersebut sudah memiliki relasi yang benar dengan Allah:
Dan Tuhan telah berfirman: "Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan,... (Yes. 29:13).
Tuhan Yesus dengan tegas menyatakan:
Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan! (Mat. 7:21-23).
Spiritualitas Kristen diawali pada saat seseorang menjadi pohon yang baik, yaitu pada saat ia menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamat pribadinya.
Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya; orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah (Yoh. 1:12-13).
Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedang pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik. Tidak mungkin pohon yang baik itu menghasilkan buah yang tidak baik, ataupun pohon yang tidak baik itu menghasilkan buah yang baik (Mat. 7:17-18
Manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, telah divonis dengan murka Allah (Rm. 1:18). Maka, ia berada dalam status "pohon yang tidak baik" yang tidak memungkinkannya untuk menghasilkan "buah yang baik". Untuk kembali kepada keadaan sesuai dengan tujuan semula Allah menciptakan manusia, ia harus dilahirkan baru terlebih dahulu (lihat Yoh. 3:1-21). Tentu saja spiritualitas Kristen tidak berhenti sampai di sini, sebagaimana yang dikatakan oleh Schaeffer:
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa spiritualitas Kristen yang alkitabiah merupakan inisiatif dari Allah dan manusia merespons sebagaimana seharusnya sesuai dengan iman yang telah dianugerahkan kepadanya. Namun, itu semua hanyaiah titik tolak yang harus dilanjutkan dengan proses pengudusan (Ef. 4:23, Kol. 3:10). Anugerah Allah memungkinkan terjadinya transformasi pada diri seseorang untuk menjadi serupa dengan Kristus. Hal itu dimungkinkan dengan adanya peran Roh Kudus dalam diri orang percaya (Tit. 3:5) sehingga manusia kembali dimungkinkan untuk menjadi gambar Allah yang mempermuliakan Allah sesuai dengan tujuan Allah sejak penciptaan (Ef. 2:1-10). Di bawah ini kita akan melihat bagaimana firman Tuhan secara rinci menjelaskan tentang semua itu.
KRITERIA SERTA PROSES PERTUMBUHAN SPIRITUALITAS KRISTEN
Rupanya seseorang yang telah menjadi anak Tuhan tidak secara otomatis akan langsung hidup sebagai anak Tuhan, seperti yang dikatakan oleh Tuhan Yesus kepada murid-Nya, Petrus, "Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia" (Mat. 16:23). Pola pikir manusia menghasilkan perilaku yang bersumber dari pola pikir tersebut. Dengan kata lain, selama pohon itu bukan pohon yang baik, maka ia tidak akan menghasilkan buah yang baik. Seseorang harus memiliki pola pikir ilahi dan hidup berdasarkan pola pikir tersebut. Pada waktu Kitab Suci memakai kata "mengenal Allah," yang dimaksudkan bukan hanya sekadar mengetahui secara kognitif, melainkan juga hidup berdasarkan apa yang ia tahu. Sehubungan dengan hal ini, Dietrich Bonhoeffer menulis, "For acquired knowledge cannot be divorced from the existence in which it is acquired. The only man who has the right to say that he is justified by grace alone is the man who has left all to follow Christ".15
Bagaimana kita mengetahui seseorang telah mencapai suatu kedewasaan rohani yang sebagaimana seharusnya. Sesuai dengan pembahasan di atas, maka rupanya kuantitas keterlibatan seseorang dalam aktivitas keagamaan tidak dapat dijadikan tolok ukur. Formasi spiritualitas diawali dengan relasi yang benar dengan Allah, yaitu pada saat seseorang menerima Yesus Kristus sebagai Juru Selamatnya. Perubahan status dari orang berdosa menjadi orang kudus tidak secara otomatis menjadikan seseorang dewasa dalam kerohaniannya. Sebagai orang yang telah menerima anugerah keselamatan ia diharapkan untuk menghasilkan perbuatan yang sesuai dengan iman yang telah menyelamatkannya.
Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna (Rm. 12:1-2).
Lihat juga Galatia 5:13-26, Efesus 4 & 5 dan Yakobus 2:14-26. Bagaimana kita tahu apakah kita sudah tidak serupa dengan dunia ini, atau telah ada pembaharuan dalam budi kita? Apabila kita tidak memiliki acuan yang mutlak maka semua akan menjadi relatif. Acuan kita bukan pola pikir dunia ini atau pola pikir siapa pun juga melainkan firman Tuhan. Seseorang tidak mungkin akan memiliki pola pikir firman Tuhan apabila ia tidak pernah berusaha untuk belajar dan memahaminya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Mazmur 1:
Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam. Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil. Bukan demikian orang fasik: mereka seperti sekam yang ditiupkan angin. Sebab itu orang fasik tidak akan tahan dalam penghakiman, begitu pula orang berdosa dalam perkumpulan orang benar; sebab TUHAN mengenal jalan orang benar, tetapi jalan orang fasik menuju kebinasaan.
Orang kudus tidak dapat berbuah Roh Kudus di luar firman Tuhan. Karya Roh Kudus tidak pernah berlawanan dengan firman Tuhan. Karena itu, seperti yang dinyatakan Tuhan Yesus, setiap orang percaya harus dikuasai oleh firman Than dan menjadi pelaku firman sehingga ia dapat berbuah banyak: "Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya. Dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku" (Yoh. 15:17-18).
Berbuah banyak tercakup di dalamnya adalah melakukan semua perintah Tuhan. Perintah Tuhan itu adalah tetap berada di dalam persekutuan yang benar dengan Allah, dengan memelihara kekudusan hidup, mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri, serta nienjalankan amanat agung dan mandat budaya. Menjalani semua itu bukannya tidak ada tantangan sebagaimana yang dinyatakan oleh Bonhoeffer tentang hidup dalam relasi anugerah, "Such grace is costly because it calls us to follow, and it is grace because it calls us to follow Jesus Christ. It is costly because it costs a man his life, and it is grace because it gives a man the only true life". 16
Tentu saja hal itu sudah sejak awal dinyatakan oleh Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya:
Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, is akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya? (Mat. 16:24-26).
Pernyataan itu kemudian diikuti oleh Paulus yang mengatakan:
Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia (1 Kor. 15:58).
KESIMPULAN
Kecerdasan spiritualitas tidak pernah terlepas dari relasi seseorang dengan Allah. Apabila ia menghendaki hidupnya diperkenan oleh Allah, maka tolok ukur Allah harus menjadi acuan di dalam hidupnya. Kitab Suci memang sudah menyatakan bahwa manusia harus bertumbuh dalam segala hal ke arah Kristus (Ef. 4:15) sehingga ia dapat mempersembahkan suatu kehidupan yang kudus dan yang berkenan kepada Allah. Kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi sejak awalnya memang tidak pernah boleh terpisah dari kecerdasan spiritual. Spiritual yang sejati akan menghasilkan manusia yang tahu bagaimana menggunakan akal dan emosinya di dunia ini sesuai dengan kehendak Tuhan. Tuhan Yesus digambarkan memiliki pertumbuhan yang semestinya selama Ia berada di dunia: "Anak itu bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada pads-Nya.... Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmatNya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia" (Luk. 2:40, 52). "Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!" (Rm. 11:36).
Footnote :
1 V K. Bhat & P. Talwar, yang bekerja di departemen psikiatri menyatakan bahwa EQ merupakan penentu yang lebih balk bagi kesuksesan seseorang dalam kehidupan dan pekerjaannya dibandingkan IQ [www.meditune.com/articles/psychiatry/eg.html]. Seto Mulyadi, seorang pakar dalam bidang anak-anak, menyatakan bahwa IQ yang tinggi bukan jaminan bagi kesuksesan seorang anak di masa depan. Oleh karena itu, EQ perlu mendapat perhatian dari orang tua yang ingin anaknya herhasil dalarn hidup ini [www.kompas.com/utama/news/0205/26/114758.htm].
2 Danah Zohar & Ian Marshall, SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan (Bandung: Mizan, 2002) 3-4.
3 Ibid. 5.
4 IQ, EQ & SQ ... [www.leader-values.com/guest/cairnes%205.htm] 2.
5 Cherian P. Tekkeveettil, [www.lifepositive.com/mind/evolution/iq-genius/intelligence.asp] 1.
6 Ibid. 1.
7 Gordon Moyes, [www.wesleymission.org.au/ministry/tra/2001/010715.html 3.
8 (Grand Rapids: Zondervan, 1986) x.
9 Ibid. xii.
10 True Spirituality (Illinois: Tyndale, 1981) 3.
11 A Practical Theology of Sprituality (Grand Rapids: Zondervan, 1987) 13.
12 Istilah kecerdasan spiritual ini bisa juga dimengerti sebagai kedewasaan rohani atau kedewasaan spiritual.
13 Designed for Dignity (New Jersey: P & R, 1993) 11-12.
14 True Spirituality 16-17.
15 The Cost of Discipleship (New York: Macmillan, 1963) 55.
16 Ibid. 47.
Diambil dari:
Judul Jurnal | : | Veritas (Vol.3, No.2, Oktober 2002) |
Judul Artikel | : | Anugerah Demi Anugerah Dalam Spiritualitas Kristen yang Sejati |
Penulis | : | Rahmiati Tanudjaja |
Penerbit | : | SAAT, Malang |
Halaman | : | 171 -- 182 |
VERITAS 6/2 (Oktober 2005) 229-238
Apologetika berasal dari kata Yunani "apologia" yang berarti berbicara untuk memertahankan atau memberikan jawaban.1 Di dalam Kitab Suci, kata ini dipakai dalam konteks 1 Petrus 3:15-16: "Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab (apologia) kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat, dan dengan hati nurani yang murni, supaya mereka, yang memfitnah kamu karena hidupmu yang saleh dalam Kristus, menjadi malu karena fitnahan mereka itu.
Jadi, apologetika artinya adalah sebuah studi untuk mempelajari bagaimana melaksanakan pertanggungan jawab, memertahankan, atau memberikan jawaban dari apa yang ia yakini dengan efektif.2 Lalu, apa artinya apabila kata apologetika dikaitkan dengan kata Kristen?
Dari bagian Kitab Suci (1 Pet. 3:15) yang sama, yang umumnya dipakai sebagai dasar, muncul berbagai definisi apologetika Kristen yang dapat kita temukan di dalam buku-buku apologetika. Pertama, definisi apologetika Kristen yang lebih menekankan pada memertahankan filsafat Kristen, seperti yang diungkapkan oleh Cornelius Van Til, di mana apologetika Kristen merupakan usaha untuk memertahankan filasafat Kristen dalam menghadapi berbagai bentuk filsafat non-Kristen, atau memertahankan wawasan dunia Kristen secara keseluruhan, bukan poin-poin religius yang terbagi-bagi, abstrak, dan terisolasi satu dengan yang lain. Oleh karena itu, apologetika melibatkan argumentasi penalaran intelektual yang berkenaan dengan wawasan dunia Kristen.3 John M. Frame dan Edgar C. Powell4 membaginya ke dalam tiga bagian, yaitu pembuktian atau penunjukkan, dalam arti memaparkan dasar rasional bagi iman Kristen (1 Kor. 15:1-11); pertahanan atau pembelaan, artinya menjawab sanggahan-sanggahan orang tidak percaya terhadap iman Kristen (Flp. 1:7, 16); dan penyingkapan, yaitu menyingkapkan kesalahan atau kesalahpahaman dari pemikiran atau pemahaman orang tidak percaya terhadap kekristenan (Mzm. 14:1; 1 Kor. 1:18-2:16). Frame mengatakan bahwa dalam pelaksanaannya, ketiganya tidak berdiri sendiri. Kita tidak dapat melakukan yang satu tanpa melakukan yang lainnya.
Kedua, apologetika Kristen yang dipahami sebagai usaha menyajikan bukti-bukti untuk membuktikan bahwa apa yang dikatakan Kitab Suci adalah benar. Fakta-fakta dan sejarah banyak berperan dalam pemahaman apologetika Kristen ini, seperti dapat dilihat dalam apologetika Kristen yang dikemukakan oleh Josh McDowell atau Paul E. Little.5 R. C. Sproul melihat apologetika Kristen ini sebagai usaha untuk menjelaskan kepada orang lain apa yang saya percaya dan mengapa saya mempercayainya. Hal ini dilakukan dengan memberikan argumentasi secara nalar yang disertai penyajian fenomena yang ada di dunia ini, di mana fenomena itu diakui sebagai wilayah netral. Wilayah netral merupakan daerah di mana semua orang bisa mengakui keberadaannya, mengenalinya, dan mengambil kesimpulan yang sama tentang fenomena tersebut, misalnya bunga mawar. Semua orang yang mengakui keberadaannya, bisa mengenalinya dan mengambil kesimpulan yang sama bahwa tumbuh-tumbuhan itu adalah bunga mawar. Dengan kata lain, melalui dunia dan segala isinya yang dikenali oleh semua orang, Sproul, melalui argumentasinya, mau membimbing orang-orang kepada siapa dan apa yang diberitakan oleh Kitab Suci.6
Sekarang penulis mengajak pembaca untuk melihat beberapa ayat di Alkitab dan menarik kesimpulan dari ayat-ayat itu. Dari percakapan Tuhan Yesus dengan murid-murid-Nya di Matius 16:13-28, yaitu tentang isu siapakah Anak Manusia itu. Dalam Matius 16:23, Yesus berkata kepada Petrus, "Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia." Tuhan Yesus dengan jelas memberikan indikasi bahwa Ia menghendaki sebutan atau status-Nya dipahami berdasarkan perspektif ilahi, bukan manusia (lih. juga 1 Kor. 1:18-2:16).
Matius 22:23-33 menyatakan bahwa orang-orang Saduki itu sesat oleh karena mereka tidak mengerti Kitab Suci, maupun kuasa Allah. Di Yohanes 8:37-47, Tuhan Yesus mengajarkan dengan jelas bahwa relasi yang benar akan diikuti oleh kehidupan atau perilaku yang sesuai dengan relasi tersebut: "Jikalau sekiranya kamu anak-anak Abraham, tentulah kamu mengerjakan pekerjaan yang dikerjakan oleh Abraham" (ay. 39). Lihat juga penjelasan Tuhan Yesus tentang pohon yang baik akan menghasilkan buah yang baik (Mat. 7:15-20), serta uraian Yakobus tentang iman yang menyelamatkan akan disertai dengan perbuatan yang selaras dengan iman tersebut, sebagai konsekuensi logis dari orang yang diberi anugerah iman yang menyelamatkan itu (Yak. 2:14-26). Petrus mengingatkan dalam suratnya bahwa setiap orang percaya harus selalu siap memberikan pertanggungan jawab kepada siapa saja, baik melalui kehidupannya maupun perkataannya (1 Pet. 3:15-17). Dari ayat-ayat di atas, penulis menyimpulkan bahwa apologetika Kristen: pertama, harus dilakukan oleh setiap orang Kristen yang seharusnya mengasihi Allah dan berusaha untuk hidup berkenan kepada Allah; kedua, apologetika Kristen adalah studi tentang usaha orang Kristen yang bermaksud untuk meyakinkan, menjelaskan, memberikan argumentasi dari perspektif ilahi tentang iman kristiani.
Jadi, jelas bahwa tugas berapologetika adalah tugas setiap orang Kristen. Firman Tuhan dengan tegas mengatakan bahwa setiap orang percaya harus selalu siap untuk berapologetika kepada siapa saja dan dalam situasi serta kondisi yang bagaimanapun juga. Ini merupakan perintah Tuhan yang harus dilaksanakan oleh orang Kristen di mana saja. Ini bukan suatu alternatif atau pilihan yang boleh dikerjakan atau tidak dikerjakan, terserah dia.
Kalau begitu, apa artinya 1 Petrus 3:15-17 bagi setiap orang Kristen? Artinya, kosakata "orang Kristen awam"7 harus dihapuskan dari benak setiap orang Kristen. Apa arti dari kata "awam"? Kata awam dapat diartikan "biasa", "bukan profesional", atau "bukan ahli". Jadi, kalau saya katakan bahwa saya awam dalam soal kedokteran, itu berarti saya bukan ahli dalam bidang itu. Konsekuensinya, jangan harapkan informasi medis yang patut dipercayai keabsahannya dari saya, atau bahkan harus dimaklumi kalau saya sama sekali tidak dapat memberikan informasi soal medis kepada siapa pun. Oleh karena saya bukan seorang dokter. Saya awam dalam bidang kedokteran. Sekarang pertanyaannya, apakah orang Kristen, siapa pun dia, pendeta/penginjil atau bukan, majelis atau bukan, pengurus komisi atau bukan, boleh mengatakan bahwa ia awam dalam kekristenan?
Pada saat seseorang mengatakan bahwa ia mau menerima Tuhan Yesus sebagai Juru Selamat pribadinya, ada tiga unsur yang terlibat dalam penerimaan itu: pengetahuan tentang Tuhan Yesus, persetujuan intelektual berkaitan dengan pengetahuan itu, dan keyakinan atau kepercayaan terhadap pengetahuan tersebut yang tentu saja harus disertai dengan penerapan dari apa yang telah dipercayainya.8 Seseorang tidak dapat memercayai sesuatu atau siapa pun kalau hal itu belum pernah ada dalam pengetahuannya. Dengan kata lain, ia tidak akan membicarakan atau memikirkan sesuatu yang tidak pernah ada di dalam pikirannya. Setelah pengetahuan itu masuk dalam pikirannya, maka baru ia akan menganalisisnya dan mengolahnya. Apabila menurut pikirannya hal itu logis atau absah berdasarkan hukum berpikir yang berlaku, maka akal budinya akan menyetujuinya. Tahap berikutnya adalah ia akan menerima atau memercayai apa yang telah ia ketahui dan analisis sebelumnya.
Firman Tuhan jelas tidak mengajarkan iman yang abstrak atau iman yang membabi buta. Roma 10:14 menyatakan:
"Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya?"
Jika membaca surat-surat Paulus, maka dapat dilihat berulang-ulang kata-kata seperti "aku tahu ..." (Flp. 1:19), atau "kami tahu ..." (2 Kor. 5:1, 11), atau "tidak tahukah kamu ..." (1 Kor. 9:24) muncul. Hal itu menunjukkan bahwa ada informasi yang masuk dalam seseorang sebelum ia dituntut apa-apa dari pengetahuan itu.
Maka, pada saat seseorang menerima Tuhan Yesus sebagai Juru Selamat pribadinya, paling tidak ia memiliki informasi yang cukup untuk meyakinkan orang itu bahwa Ia adalah Juru Selamat dan mengapa ia memerlukan-Nya sebagai Juru Selamat dalam hidupnya. Tentu tuntutan bagi orang percaya tidak sampai di situ. Ia harus terus bertumbuh dalam pengenalan akan Kristus dan hidup dalam pengenalan itu. Dengan kata lain, anugerah yang kita terima berdasarkan karya penebusan-Nya bukan hanya sekadar untuk mengubah status seseorang yang tadinya orang berdosa menjadi orang kudus, atau yang tadinya musuh Allah, sekarang menjadi anak-Nya. Ia dituntut pula untuk hidup sesuai dengan statusnya yang baru itu. Ada aturan main ilahi yang harus diterapkan dalam kehidupan baru yang ia miliki di dalam Kristus. Hidup dan mati sekarang adalah hidup dan mati untuk Tuhan.
Sebab tidak ada seorang pun di antara kita yang hidup untuk dirinya sendiri, dan tidak ada seorang pun yang mati untuk dirinya sendiri. Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan. Sebab untuk itulah Kristus telah mati dan hidup kembali, supaya Ia menjadi Tuhan, baik atas orang-orang mati maupun atas orang-orang hidup (Rm. 14:7-9). Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka (2 Kor. 5:15).
Bagaimana orang percaya dapat hidup berdasarkan aturan main ilahi atau perspektif Tuhan apabila ia tidak tahu mengenai hal itu. Itu berarti setiap orang percaya dituntut untuk betul-betul mempelajari tentang siapa dan apa yang dipercayainya. Setiap orang percaya harus menjadi murid firman Tuhan yang serius. Membaca dan meneliti firman Tuhan dengan sungguh-sungguh, serta berusaha untuk menerapkannya dalam setiap aspek kehidupan yang Tuhan percayakan kepadanya. Hal ini tidak dapat terwujud dalam satu malam. Pengalaman pelayanan saya menunjukkan bahwa tidak sedikit pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh orang percaya pada seorang rohaniwan, dikarenakan ketidaktahuan apa yang tertulis di Kitab Suci, bukan ketidakmengertian tentang apa yang tertulis di dalamnya. Ini cukup memprihatinkan. Tetapi yang lebih memprihatinkan lagi adalah apabila ia merasa tidak apa-apa berada dalam keadaan seperti itu. Seorang rohaniwan memang bertanggung jawab untuk memperlengkapi orang-orang kudus (Ef. 4:11-16). Namun, ayat-ayat itu tidak berarti bahwa rohaniwan adalah "kamus berjalan" bagi orang Kristen, atau "pembaca" firman Tuhan pada orang Kristen, sehingga orang Kristen tidak perlu membaca dan mempelajari firman Tuhan secara pribadi, karena sewaktu-waktu, kapan saja ia memerlukannya, ia bisa bertanya pada seorang rohaniwan.
Untuk menerapkan 1 Petrus 3:15, setiap orang percaya harus mempelajari Kitab Suci mulai dari Kejadian sampai Wahyu (bukan hanya "ayat-ayat emas") dengan saksama. Artinya, bukan hanya mengetahui apa isi Kitab Suci, tetapi juga memahaminya dan tahu bagaimana menerapkannya dalam setiap aspek kehidupannya, sehingga ia benar-benar memiliki perspektif ilahi atau wawasan kristiani dalam menjalani kehidupan yang masih Tuhan percayakan kepadanya. Setiap orang Kristen harus menjadi orang Kristen profesional, yaitu ahli atau pakar dalam kekristenannya, supaya ia dapat diandalkan oleh Tuhan untuk memberikan pertanggungjawaban kepada siapa pun yang memintanya. Ini senada dengan apa yang dikatakan Paulus, "Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain ...." (Kol. 3:16a)
Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku ....
Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang
mengasihi Aku .... (Yoh. 14:15,21a)
Pertanyaan yang diajukan sebanyak tiga kali oleh Tuhan Yesus kepada Petrus setelah penyangkalannya adalah: "Apakah engkau mengasihi Aku?" (Yoh. 21:15, 16, 17). Mengapa itu yang ditanyakan oleh Tuhan Yesus, mengapa bukan "Apakah sekarang kamu sudah mengerti siapa Aku sebenarnya?" atau "Apakah kamu sekarang sudah sadar?" Rupanya di sini Tuhan Yesus mengajarkan satu dasar sebagai titik tolak yang sangat penting bagi seorang murid seperti Petrus. Pertanyaan itu berkaitan erat dengan pernyataan-pernyataan-Nya ini: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku" (Mat. 16:24) dan bukankah hukum yang terutama adalah "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu" (Mat. 22:37).
Pertobatan diawali dengan kesadaran bahwa "saya adalah orang berdosa dan saya memerlukan Kristus sebagai Juru Selamat saya." Pemuridan bertitik tolak dari "saya mengasihi Tuhan". Hal ini penting, karena Tuhan Yesus berkata, "Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." (Mat. 6:21). Dari bagian firman Tuhan yang sudah dikutip di atas, jelas bahwa Ia harus selalu menjadi "harta" atau segala-galanya bagi setiap orang percaya. Maka, apabila hati orang percaya sudah melekat pada Tuhan, ia akan selalu siap untuk melakukan apa saja untuk Tuhan.
Setiap orang percaya diperintahkan untuk mengasihi Tuhan, dan ini tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Ia harus mengasihi Tuhan sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Termasuk dalam menjalankan
perintah-Nya untuk selalu siap memberikan pertanggungan jawab kepada setiap orang. Oleh karena itu, ia harus mempelajari dan memahami kehendak-Nya. Hal ini tidak bisa terjadi apabila ia tidak pernah mempelajari firman Tuhan yang telah menyatakan kehendak-Nya kepada setiap orang percaya.
Seseorang yang mengasihi Tuhan akan selalu siap untuk melakukan apa saja bagi Dia. Mempelajari firman Tuhan untuk mengenal Dia semakin dalam dan benar, bukan merupakan suatu beban dan penuh dengan keterpaksaan. Melaksanakan firman Tuhan, apa pun risikonya tidak dilihat sebagai suatu pengorbanan, atau dilaksanakan dengan mentalitas orang upahan, karena ia melakukan semua itu hanya untuk satu tujuan, yaitu menyenangkan hati-Nya dan mempermuliakan nama-Nya. Kalau kasih kepada Tuhan secara totalitas sudah ada di dalam hatinya, maka apa yang akan dipaparkan berikut ini menjadi tidak sukar atau merupakan suatu beban. Semua akan dilihat sebagai sesuatu yang memang sewajarnya dijalankan oleh semua anak Tuhan. Seorang anak Tuhan yang hidup sesuai dengan statusnya, tidak berkelebihan, atau di luar batas kewajaran, sebab ini memang sudah sepatutnya dijalani oleh semua anak Tuhan, sebagaimana nasihat Paulus pada orang-orang percaya di Efesus, "Sebab itu aku menasihatkan kamu, aku, orang yang dipenjarakan karena Tuhan, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu." (Ef. 4:1)
Petrus mengawali perintah untuk selalu siap sedia memberi pertanggungan jawab kepada setiap orang dengan pernyataan: "Kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan!" (1 Pet. 3:15a), dan mengakhiri perintah itu dengan kalimat: "... tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat, dan dengan hati nurani yang murni, supaya mereka, yang memfitnah kamu karena hidupmu yang saleh dalam Kristus menjadi malu karena fitnahan mereka itu" (1 Pet. 3:15b-16). Ayat-ayat itu berbicara tentang pola hidup, karakter, perilaku yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang Kristen. Berita yang disampaikan secara verbal harus selaras dengan berita yang disampaikan secara nonverbal.
Perintah itu dilaksanakan untuk kemuliaan Tuhan supaya orang yang diajak bicara, juga pada akhirnya dapat mempermuliakan Tuhan dalam hidupnya. Apabila itu dilaksanakan untuk kemuliaan-Nya, maka tidak boleh ada apa pun yang akan mencemarinya. Orang percaya berapologetika bukan untuk membuat orang lain malu, marah, bungkam seribu bahasa, atau kalah dalam berargumentasi. Bukan pula untuk mendemonstrasikan kelihaian, kecakapan, dan kefasihan lidah dalam berargumentasi. Tidak ada kemuliaan Tuhan yang akan terpancar dari semua itu. Pada dasarnya, berita yang disampaikan adalah kasih Tuhan kepadanya dan kepada orang yang sedang diajak bicara. Oleh karena itu, jangan sampai kasih Tuhan tidak dirasakan sama sekali atau tidak terlihat dalam proses penyampaiannya.
Memberikan pertanggungan jawab kepada setiap orang tidak selalu harus dalam bentuk percakapan. Pola hidup, pikiran, perilaku, perkataan, serta karakter orang yang berapologetika harus selalu siap menjawab setiap pertanyaan dari orang-orang yang berada dalam kehidupannya, mulai dari rumah, tempat bekerja, sekolah, gereja, tempat bermain, tempat bersosialisasi, dan di mana saja ia berada. Dengan kata lain, ia harus menjadi garam dan terang di mana pun kita berada (Mat. 5:13-16; 2 Kor. 3:2).
Seorang penginjil Irlandia, Gypsy Smith, pernah mengatakan, "Ada lima Injil, yaitu Matius, Markus, Lukas, Yohanes, dan orang Kristen, dan sebagian orang tidak akan pernah mendengar empat Injil yang pertama."9 Dengan kata lain, apologetika sering kali dilihat terlebih dahulu sebelum didengar. Oleh karena itu, Kitab Suci memberikan gambaran yang jelas tentang seorang gembala yang merupakan seorang apologis: seseorang yang terlebih dahulu telah mengkhususkan hatinya bagi Kristus dan yang kemudian memberikan jawaban kepada penanya dan melakukannya dengan lembut dan hormat.
Footnote:
PENGANTAR
C. S. Lewis dalam salah satu bukunya menulis demikian:
Bagi saya kitab Ayub nampak bukan kisah historis karena kitab ini dimulai dengan kisah tentang seorang laki-laki yang sama sekali tidak memiliki hubungan dengan semua sejarah, bahkan semua legenda, tanpa ada silsilahnya. Laki-laki itu tinggal di sebuah negara di mana negara itu tidak pernah disebutkan di bagian lain di Alkitab; kelihatannya, penulis dengan sangat jelas menulis sebagai seorang pendongeng bukan sebagai seorang sejarawan. Karena itu saya tidak mengalami kesulitan dalam menerima, misalnya, pandangan para sarjana yang mengatakan kepada kita bahwa kisah tentang penciptaan di kitab Kejadian herasal dari cerita-cerita bangsa Semit zaman dahulu yang bersifat politeisme dan mistis.1
Ada beberapa pertanyaan yang mungkin muncul dalam pikiran kita sesudah membaca pernyataan-pernyataan di atas, misalnya: Apakah Lewis percaya kepada inspirasi Alkitab, ataukah tidak? Apakah ia berpikir bahwa Alkitab merupakan sebuah mitos dan bukan sebuah fakta historis? Bagaimana dengan kisah Yesus Kristus di dalam Perjanjian Baru, apakah ia juga berpikir bahwa kisah tersebut merupakan sebuah mitos? Lewis sendiri menyatakan bahwa ia dituduh sebagai seorang fundamentalis. Di lain pihak, pemahamannya terhadap Kitab Suci dituduh oleh kaum fundamentalis sebagai pemahaman yang liberal. Jadi, dalam isu kontroversial ini di sisi manakah ia sebenarnya berada?2
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut kita harus mengerti terlebih dahulu apa sebenarnya arti semua istilah yang ia gunakan yang berkaitan dengan masalah ini; misalnya wahyu Allah, inspirasi, mitos, otoritas, ineransi dan infalibilitas Alkitab. Sesudah itu penulis akan membandingkannya dengan pengertian yang dianut kaum liberal dan fundamentalis. Artikel ini tidak hanya menjelaskan pandangan Lewis terhadap Kitab Suci dan bagaimana ia telah menggunakannya, tetapi juga bagaimana pandangannya dapat memberikan pencerahan kepada kita dalam melihat ilmu pengetahuan dan pandangan orang lain dalam perspektif yang berbeda dari yang mungkin telah kita miliki sebelumnya. Ini tidak berarti kita harus setuju dengan semua yang Lewis katakan, namun tidak ada salahnya kita memikirkan dan mempertimbangkannya sebagai bahan evaluasi untuk apa yang kita percaya selama ini. Siapa tahu pandangan tersebut dapat mempertajam apa yang kita percayai selama ini dan bergeser dari "asal percaya" menjadi "aku tahu apa yang kupercaya dan aku tahu mengapa aku percaya".
PENGERTIAN LEWIS TERHADAP WAHYU ALLAH, INSPIRASI, DONGENG, OTORITAS, INERANSI DAN INFALIBILITAS ALKITAB
Lewis tidak membahas istilah-istilah wahyu Allah, inspirasi, dongeng, otoritas, ineransi dan infalibilitas secara terpisah. Oleh karena itu, pembahasan tentang istilah-istilah di atas akan dijelaskan dalam keterkaitan antara satu dengan yang lain serta dikaitkan dengan istilah-istilah lain, misalnya kebenaran, literatur, realitas dan fakta, sebagaimana yang dilakukan oleh Lewis pada waktu pembahasan istilah-istilah tersebut.
Hubungan Antara Wahyu Allah dan Kebenaran
Sesudah membaca beberapa buku Lewis yang berhubungan dengan masalah ini, kesimpulan yang dapat diambil adalah ia percaya kepada Allah sebagai sumber dari semua kebenaran. Kebenaran Allah ini dapat ditemukan bukan hanya di dalam Kitab Suci atau kekristenan, melainkan juga di dalam bidang lain, misalnya ilmu pengetahuan dan literatur. Perlu kita simak bahwa ia adalah salah seorang sastrawan Inggris yang cukup terkenal dengan karya-karyanya yang sudah mendunia. Oleh karena itu, pemahaman dan penghargaannya terhadap literatur dapat dimengerti.3
Jika kita berbicara mengenai penemuan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan fakta dan bukan teori semata-mata, maka penemuan ini dapat disebut sebagai kebenaran, yaitu wahyu Allah melalui alam. Lewis menghargai pekerjaan para ilmuwan, misalnya para ahli ilmu fisika dan ilmu jiwa, sejauh mereka dapat menyadari keterbatasan dan posisi mereka. Oleh karena itu ia menegaskan bahwa kita tidak dapat mengatakan: "Sekarang ilmu pengetahuan telah membuktikan ... " karena ilmu, pengetahuan masih terus berkembang. Dengan kata lain, selama para ilmuwan belum mencapai kesimpulan akhir dari teori-teori mereka dalam hubungannya dengan fakta, atau teori mereka belum selaras dengan fakta, maka kita tidak dapat menjadikannya sebagai standar dari segala sesuatu.4 Ia juga percaya bahwa ada beberapa kebenaran di dalam literatur lain selain Alkitab, karena itu ia mendorong pembacanya untuk membaca literatur-literatur lain di samping Alkitab dan mempelajari sesuatu dari literatur tersebut.5
Kalau memang demikian, lalu apakah perbedaan antara kebenaran yang Allah telah wahyukan melalui Kitab Suci dengan kebenaran yang diwahyukan di luar Kitab Suci? Perbedaan di antara keduanya terletak pada penggunaan dari kebenaran yang Allah wahyukan melalui Kitab Suci, di mana wahyu itu digunakan secara langsung untuk membawa orang-orang berdosa kepada keselamatan di dalam Kristus. Allah dapat menggunakan kebenaran di luar Kitab Suci untuk membawa orang mengenal atau mengakui keberadaan-Nya. Namun, melalui Kitab Suci, Ia membawa orang kepada Yesus Kristus secara langsung sehingga kalau orang tersebut mengenal Anak, ia akan mengenal Bapa dan menjadi anak Allah.6
Hubungan Antara Wahyu Allah dan Inspirasi
Lewis percaya bahwa Alkitab adalah kudus dan diilhami oleh Roh Kudus, yang berarti semua penulis Alkitab dan semua bahan yang mereka gunakan telah dipimpin oleh Allah supaya mewahyukan kebenaran yang Allah maksudkan untuk dikenal oleh umat manusia. Karena itu baginya, meskipun cerita-cerita di dalam Alkitab berasal dari cerita-cerita bangsa Semit zaman dahulu yang merupakan penyembahan berhala dan dongeng, dalam arti bahwa cerita-cerita tersehut berkembang dan menjadi seperti apa adanya sekarang, ide ini tidak mengganggunya karena ia percaya adanya pimpinan Allah dalam prosesnya.7
Ia juga percaya bahwa tingkat inspirasi di Alkitab tidak sama, baik dalam hal cara maupun dalam hal derajat:
The most obvious evidence for this is Paul's testimony in 1 Corinthians 7. There he said, "To the married I give this ruling, which is not mine but the Lord's...." His very next sentence began, "To the rest I say this, as my own word, not as the Lord's ... (NEB). Paul here seemed to claim a difference in degree of inspiration. Another interesting contrast can be found between Luke's introduction to his Gospel, in which he claims to have researched and planned his account, and the prophetic words of Caiaphas, the evil high priest, as recorded in John 11:49-52. We are clearly told that Caiaphas was inspired without knowing it and spoke divine truth he did not intend or comprehend. Luke and Caiaphas seemed to experience different modes of inspiration.8
Karena itu Alkitab harus didekati sebagai literatur yang diinspirasikan dengan semua elemen-elemen literaturnya, yaitu bayangan, simbol-simbol, dongeng dan metafor, yang merupakan perwujudan yang sebenarnya dari realitas spiritual, sebagai kendaraan dari wahyu Tuhan.9
Hubungan Antara Mitos, Realitas dan Kebenaran
Menurut Lewis, kebenaran itu lebih luas dari realitas. Dengan kata lain, realitas merupakan bagian dari kebenaran, tetapi bukan kebenaran seluruhnya. Sedangkan mitos adalah alat Allah dalam mewahyukan kebenaran yang tidak dapat dipahami umat manusia atau sebagai jembatan antara dunia ini dengan dunia abadi.
What flows into you from the myth is not truth but reality (truth is always about something, but reality is that about which truth is), and, therefore, every myth becomes the father of innumerable truths on the abstract level.... It is not, like truth, abstract; nor is it, like direct experience, bound to the particular.10
Supaya pemahaman tentang mitos menjadi lebih jelas ia menerangkannya dalam hubungan dengan inkarnasi Yesus Kristus sebagai yang menjadi fakta. Hal yang ia ingin sampaikan dalam penjelasan ini adalah bahwa ide tentang Putra Allah sebagai Domba Allah yang akan dibunuh demi umat manusia adalah mitos yang dapat kita temukan di dalam Perjanjian Lama. Sekarang mitos itu telah menjadi fakta di dalam inkarnasi Yesus Kristus dalam ruang dan waktu yang khusus dalam sejarah umat manusia. Tetapi, fakta ini masih tetap merupakan sebuah mitos karena kita tidak dapat mengerti seluruh kebenaran tentang inkarnasi itu dan tentang Yesus Kristus sendiri. Lewis menyebut hal ini sebagai sebuah mujizat dan kasihan sekali mereka yang tidak mengetahui bahwa mitos yang hebat ini telah menjadi fakta.11
Hubungan Antara Otoritas, Ineransi dan Infalibilitas Alkitab Sebagai Literatur
Lewis tidak mengingkari otoritas Alkitab. Ia menilai Alkitab sebagai sumber kebenaran utama dan kita dapat melihat bagaimana ia menggunakan Alkitab sebagai standar untuk menilai pandangan-pandangan yang lain. Misalnya, ia menolak beberapa gagasan Pascal dengan alasan bahwa dalam hal-hal di mana Pascal bertentangan dengan Alkitab, Pascal pasti salah.12 Kemudian, ia juga menyatakan bahwa hukum atau semua perintah Allah di dalam Alkitab adalah benar dan yang paling valid. Semua perintah dan hukum Allah itu seperti lampu atau penuntun guna melalui segala macam arah untuk hidup di dalam dunia ini.
There are many rival directions for living, as the Pagan cultures all round us show. When the poets call the directions or "rulings" of Jahveh "true" they are expressing he assurance that these, and not those others, are the "real" or "valid" or unassailable ones: that they are based on the very nature of things and the very nature of God.13
Menurutnya, Perjanjian Lama memiliki kebenaran historis dan ilmiah, dan inkarnasi Yesus Kristus merupakan sejarah.14 Namun, itu bukan berarti segala sesuatu yang telah ditulis di dalam Alkitab merupakan kebenaran. Yang ia maksud adalah bahwa ada beberapa cerita, beberapa pernyataan dan beberapa tingkah laku di dalam Alkitab yang tidak boleh diikuti oleh umat Allah. Jadi, yang ia maksud dengan kebenaran yang berkaitan dengan ineransi dan infalibilitas Kitab Suci ialah kebenaran yang merupakan realitas dan kebenaran yang tidak bertentangan dengan hukum Allah.
Lewis percaya bahwa Alkitab merupakan literatur dengan semua karakteristik yang dimiliki literatur. Literatur ini digunakan oleh Allah sebagai medium untuk membawa pesan-Nya kepada manusia. Perbedaan antara proses penulisan Alkitab dan literatur-literatur yang lain adalah bahwa semua proses penulisan dipimpin oleh Allah secara supranatural, baik penulis-penulis Alkitab atau orang yang memelihara dan mengkanonisasi Alkitab, atau editor, penyalin dan penerjemah Alkitab. Hasil akhirnya adalah Alkitab yang kita miliki sekarang ini dapat diterima sebagai kitab yang diinspirasikan sepenuhnya, patut dipercaya dan berotoritas.15
Ringkasan Doktrin dan Penggunaan Alkitab Menurut Lewis
Berdasarkan pembahasan di atas, berikut ini penulis simpulkan beberapa kepercayaan Lewis berkaitan dengan istilah-istilah dalam doktrin Alkitab.
Lewis percaya bahwa Allah adalah sumber segala kebenaran dan Ia tidak mewahyukan kebenaran hanya di dalam dunia kekristenan. Allah juga mewahyukan kebenaran di luar bidang agama. Dengan kata lain, Allah mewahyukan diri-Nya dalam berbagai cara di berbagai tempat. Hal ini menjelaskan kenapa Aslan dapat muncul sebagai jenis binatang yang berbeda di sepanjang cerita Narnia. Jadi, kita dapat menemukan kebenaran Allah di dalam penemuan-penemuan ilmiah dan juga di dalam literatur-literatur lain di luar bidang agama. Kita harus mengakui bahwa ada beberapa kebenaran di dalam apa yang mereka kemukakan.
Lewis percaya Alkitab menjadi literatur yang telah dipakai oleh Allah untuk membawa pesan-Nya kepada umat manusia. Karena itu, kita harus memperlakukan Alkitab sebagai wahyu Allah yang berotoritas ilahi. Ia mempertegas hal ini dengan mengatakan bahwa kita seharusnya membuat perbedaan antara tulisan-tulisan Paulus dan tulisan-tulisan Agustinus. Dengan kata lain, kita harus menggunakan Alkitab sebagai standar cara hidup dan pikiran manusia.
Alkitab diilhami oleh Allah dalam arti bahwa di dalam proses literatur ini (misalnya, pengumpulan bahan-bahan, pengeditan bahan-bahan, para penulis dengan semua latar belakang mereka, penyimpanan literatur, kanonisasi, penerjemahan dan penyalinan), semuanya itu telah dipimpin oleh Allah. Karena itu, Alkitab yang kita miliki sekarang ini merupakan literatur yang membawa perkataan Allah di dalamnya. Dengan kata lain, Allah memimpin proses ini dengan cara sedemikian rupa sehingga kebenaran yang Ia ingin agar kita mengetahuinya, ditulis dan diterjemahkan dengan sukses oleh mereka yang telah dipimpin oleh-Nya.16
Lewis percaya kepada ineransi Alkitab dalam arti Alkitab memiliki kebenaran historis dan ilmiah. Dengan kata lain, apa yang dikatakan oleh Alkitab adalah benar, tetapi tidak berarti bahwa semua kata di dalam Alkitab adalah benar, karena ada beberapa tindakan, pikiran dan perkataan yang seharusnya tidak diikuti oleh kita, misalnya perzinahan Daud (2 Sam. 11) atau ketidaktaatan Saul (1 Sam. 15).
Lewis memiliki gagasan tentang mitos yang tidak sama dengan gagasan Bultmann.17 Ketika ia mengatakan bahwa Perjanjian Lama merupakan sebuah mitos maksudnya bukan berarti Perjanjian Lama bukanlah sebuah sejarah yang benar. Yang ia maksud dengan mitos adalah realitas yang tidak dapat dipahami sebagai kebenaran yang menyeluruh, yang melebihi realitas itu sendiri. Baginya, mitos merupakan ekspresi dari seseorang yang mencoba menjelaskan kebenaran yang sebenarnya tidak dapat didefinisikan secara penuh, tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, atau ditangkap oleh intelek.18 "Karena rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman Tuhan. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu" (Yes. 55:8-9).
Kita dapat membaca Aikitab dengan dua cara, yaitu sebagai literatur buatan manusia semata-mata atau sebagai firman Allah. Tetapi kedua cara ini tidak akan membawa kita ke mana-mana apabila kita tidak memiliki pengertian tertentu sebagaimana yang dimaksudkan oleh Alkitab. Karena itu, menurut Lewis penting bagi kita untuk memiliki fokus yang benar.19 Iluminasi Roh Kudus adalah sangat penting untuk mendapatkan pengertian yang benar. Sedangkan hikmat dari Allah juga dibutuhkan untuk mengetahui bagaimana menerapkannya, dan kuasa Roh Kudus jugs sangat krusial supaya kita dapat mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari.
PERBANDINGAN PANDANGAN LEWIS TERHADAP ALKITAB DENGAN PANDANGAN-PANDANGAN KAUM LIBERAL DAN FUNDAMENTALIS
Apakah kepercayaan kaum liberal dan kaum fundamentalis terhadap Alkitab? Pertanyaan ini harus dijawab lebih dahulu sebelum kita dapat melakukan perbandingan. Namun persoalannya, di kalangan liberal dan fundamentalis sendiri kita bisa menemukan segala macam doktrin tentang Kitab Suci. Untuk mendiskusikan hal itu diperlukan topik lain dengan pembahasan panjang. Karena itu, dalam bagian ini penulis hanya akan menyentuh masalah pokok dari setiap kepercayaan mereka yang dipandang cukup mewakili kedua golongan ini pada umumnya.
Liberalisme terbuka pada ilmu pengetahuan, seni dan kemanusiaan kontemporer. Mereka mencari kebenaran di mana pun hal itu dapat ditemukan. Bagi mereka tidak ada kesenjangan antara kebenaran yang terdapat di dalam dan di luar kekristenan. Liberalisme tidak setuju dengan dogmatisme dan eksklusivisme. Dengan kata lain, kebenaran tidak hanya terdapat di dalam kekristenan. Alkitab dipandang oleh kaum liberal sebagai produk pikiran manusia semata-mata yang mencatat pengalaman orang-orang yang terbuka pada kehadiran Allah. Karena itu, Alkitab bukan merupakan teks yang diwahyukan dan juga bukan wahyu Allah secara eksklusif kepada umat manusia. Dengan kata lain, karena Alkitab hanya merupakan produk pikiran manusia, maka Alkitab tidak bebas dari natur manusia, yakni dapat salah. Pendekatan yang dipakai untuk mempelajari Alkitab adalah higher and lower biblical criticism.20
Fundamentalis percaya bahwa Alkitab sebagai firman Allah yang dalam proses pewahyuan dan penulisannya ada keterlibatan Allah. Oleh karena itu, Alkitab pada dasarnya selain ditulis oleh manusia juga merupakan produk ilahi sehingga, Kitab Suci adalah benar di dalam segala sesuatu yang dikatakannya, baik secara historis maupun secara ilmiah. Sebagai hasilnya, kita memiliki pengajaran dan peraturan tentang iman yang tanpa salah, yang menjadi acuan bagi perilaku dan kehidupan umat manusia. Istilah yang dipakai biasanya adalah verbal plenary inspiration21 Kitab Suci.
Sekarang, kita sampai kepada jawaban atas pertanyaan di sisi manakah Lewis dapat dimasukkan, liberal atau fundamentalis? Apabila kita hanya terpaku pada pernyataan Lewis yang mengatakan bahwa kebenaran Allah tidak hanya ada di dalam Kitab Suci, maka kita akan menyimpulkan bahwa ia ada di sisi liberal. Namun, apabila kita mengamati pernyataannya lebih lanjut yang mengklaim bahwa Kitab Suci adalah patokan untuk menilai apakah usulan "kebenaran" yang dihasilkan di luar Kitab Suci salah atau benar, maka penganut liberalisme akan mengernyitkan dahinya dan menggelengkan kepala mereka tanda tidak setuju.
Lewis dapat menerima gagasan bahwa beberapa cerita di dalam Alkitab tidak bersifat historis (misalnya Ayub), tetapi alasannya karena karakter ini tidak memiliki asal-usul.22 Namun, ia percaya bahwa cerita-cerita yang lain di dalam Alkitab sebagai sejarah, meskipun ada mujizat-mujizat 23 di dalamnya. Mencermati keseluruhan pemikiran Lewis, maka penulis berpendapat bahwa kita tidak dapat meletakkannya di dalam kategori liberal. Bagaimana dengan fundamentalis?
Penulis menyadari bahwa fundamentalis akan mengalami kesulitan menerima gagasan bahwa cerita Ayub bukanlah sejarah, serta pendapat bahwa di Alkitab terdapat mitos-mitos. Di samping itu, gagasan Lewis tentang inspirasi berbeda dari kaum fundamentalis. Lewis percaya bahwa derajat penginspirasian Alkitab tidak sama dalam setiap bagian Alkitab. Karena itu, tidak heran kalau kita bisa menemukan perbedaan hal-hal yang disebut dalam 2 Samuel 10:18 dan 1 Tawarikh 19:18; adanya ketidaksamaan antara silsilah di Matius 1 dan Lukas 3; serta pernyataan rasul Paulus yang membuat perbedaan antara pernyataan-pernyataannya dengan perintah Allah (1 Kor. 7:10,12).24
Apabila kita hanya memperhatikan pernyataan Lewis yang menyatakan bahwa Alkitab merupakan tolok ukur bagi semua klaim tentang kebenaran di luar Alkitab, maka kelihatannya ia berbicara sebagai seorang fundamentalis. Namun, bagaimana dengan pemikirannya tentang inspirasi yang tidak merata derajatnya serta penggabungan antara pendekatan kritik literatur dan pimpinan Tuhan dalam penulisan Kitab Suci? Apakah ini hanya merupakan cara menjelaskan yang berbeda dari konsep yang sama, yang dimiliki oleh fundamentalis? Mengingat ia sedang berhadapan dengan para filsuf dan teolog atau orang-orang yang melihat bahwa faktor intelek menjadi penghalang untuk mempercayai Alkitab sebagai wahyu Allah yang menjadi patokan bagi manusia, maka tidak heran kalau ia menggunakan pendekatan filosofis dan menonjolkan aspek-aspek yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi intelek ini dalam menjelaskan doktrin Alkitab.25
Dari pembahasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa Lewis tidak termasuk salah satu dari golongan tersebut. Scott R. Burson dan Jerry L. Walls 26 dalam tulisan mereka tentang pemikiran Lewis menyatakan bahwa ada dua hal yang tidak boleh dilakukan terhadap Lewis. Pertama, kita tidak boleh mengambil bagian-bagian dari pemikirannya dengan tujuan mendukung pendapat tertentu dan mengabaikan pernyataan-pernyataan eksplisit dari Lewis yang jelas bertentangan dengan pendapat tersebut. Kedua, kita harus hati-hati dengan spekulasi apa yang akan ia katakan andaikata ia masih hidup. Semua kesimpulan tentang pendapatnya harus disertai dengan dasar atau bukti yang cukup dari tulisan-tulisan Lewis sendiri. Lewis memang seorang sastrawan yang melalui karya tulis dan pemikiran-pemikirannya telah memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi dunia kekristenan. Hal itu tentu patut dihargai, namun, tentu saja penghargaan itu tidak berarti kita harus memperlakukan buah pemikirannya sebagai acuan. Lewis sendiri dengan jelas menjadikan Alkitab sebagai acuan dalam kehidupannya, meskipun kebenaran yang ia dapatkan di Alkitab tidak menyenangkannya atau membuatnya nyaman. Misalnya, kebenaran tentang neraka, kebebasan dan predestinasi. Oleh karena itu, pencerahan dari Lewis berikut ini ditulis dengan asumsi bahwa ada hal-hal baik yang dapat kita pelajari dari Lewis sebagai suatu masukan untuk membuka wawasan, tanpa berusaha untuk mengutip dan memakai pernyataan-pernyataan Lewis untuk sekadar mendukung pendapat tertentu.
PENCERAHAN DARI C. S. LEWIS
Bagi kita yang percaya bahwa Allah memberikan dua macam wahyu kepada manusia, yaitu wahyu umum dan wahyu khusus, maka anjuran Lewis supaya kita tidak memisahkan kedua wahyu itu dan menganggap yang satu lebih rendah dari yang lain perlu diperhatikan. Penulis berpendapat hal ini sangat baik karena membuat kita memiliki pandangan yang luas tentang kebenaran dan akan membantu kita menemukan kebenaran Allah di bidang-bidang yang lain. Selain itu, juga akan memperkaya kita dalam memahami kebenaran. Berikutnya kita akan melihat bagaimana diskusi tentang Alkitab dapat memperkaya kita dalam pandangan kita terhadap agama-agama atau pendapat orang lain dan ilmu pengetahuan.
Agama
Lewis memperjelas bahwa kita dapat menemukan kebenaran dalam agama-agama yang lain. Gagasan ini akan menghapus keragu-raguan kita untuk mempelajari agama-agama lain. Misalnya, kita mungkin berpikir bahwa mempelajari agama-agama lain itu tidak ada gunanya karena kita tidak akan menemukan sesuatu yang baik di dalamnya. Kemauan kita untuk mempelajari agama-agama lain akan membuat kita benar-benar mengenal agama tersebut dan kita dapat mendekati mereka serta membagikan kehenaran kita kepada mereka. Dengan kata lain, untuk mengetahui bagaimana mendekati orang yang berbeda kepercayaan secara efektif, kita perlu mengenal dengan jelas apa yang kita percaya dan apa yang mereka percaya, sehingga kita dapat sampai kepada kesimpulan seperti yang dinyatakan oleh Lewis:
All I am doing is to ask people to face the facts-to understand the questions which Christianity claims to answer. And they are very terrifying facts. I wish it was possible to say something more agreeable. But I must say what I think true. Of course, I quite agree that the Christian religion is, in the long run, a thing of unspeakable comfort. But it does not begin in comfort; it begins in the dismay.... In religion, ... comfort is the one thing you cannot get by looking for it. If you look for truth, you may find comfort in the end; if you look for comfort you will not get either comfort or truth-only soft soap and wishful thinking to begin with and, in the end, despair.27
Ilmu Pengetahuan
Sejak abad keenam belas banyak pertanyaan telah diajukan mengenai hubungan antara ilmu pengetahuan dan teologi dan segala macam usaha telah dilakukan untuk menjelaskan hubungan tersebut. Dari sejarah masalah yang kontroversial ini terdapat tiga macam sikap yang diambil dalam mendekati masalah ini: pertama, pendekatan Warfare, yaitu gereja-gereja dengan otoritas mereka menekan ilmu pengetahuan atau para ilmuwan untuk tidak berjalan terlalu jauh atau bahkan menahan mereka sebelum mereka memulai pekerjaannya. Kedua, pendekatan separation, yaitu kepercayaan bahwa tidak ada koneksi antara ilmu pengetahuan dan teologi karena masing-masing memiliki latar belakang berbeda, jadi tidak ada gunanya mencoba menghubungkan ilmu pengetahuan dan teologi. Ketiga, pendekatan mutual interaction di mana para teolog mencoba berdialog dengan para ilmuwan, demikian sebaliknya, sehingga keduanya dapat sampai kepada pemahaman tertentu tentang bagaimana seorang teolog harus memandang ilmu pengetahuan dan bagaimana seorang ilmuwan harus memandang teologi.28
Biasanya gereja akan menggunakan pendekatan pertama atau kedua dan sangat jarang gereja atau orang Kristen menggunakan pendekatan ketiga dan dengan serius bekerja dengan pendekatan itu. Alasannya karena kekuatiran menghadapi konflik antara apa yang akan atau dapat ditemukan oleh para ilmuwan di dalam alam semesta ini dengan apa yang Alkitab telah katakan tentang isu yang sama. Ada juga yang berpendapat bahwa itu bukan urusan orang Kristen. Tanggung jawab orang Kristen yang utama adalah bersaksi. Jadi, apabila orang Kristen harus memilih antara ilmu pengetahuan dan menjadi saksi Kristus, maka ilmu pengetahuan harus menempati tempat duduk di belakang.(29)
Penulis berpendapat bahwa pandangan Lewis tentang Alkitab yang berhubungan dengan kebenaran akan membantu orang Kristen melihat relasi antara ilmu pengetahuan dan Alkitab. Jika kita percaya bahwa Allah adalah sumber kebenaran dan kebenaran itu dapat kita temukan baik dalam wahyu khusus maupun wahyu umum, maka sesungguhnya tidak ada yang perlu dikuatirkan. Setiap orang Kristen akan siap mendengar apa yang disampaikan oleh para ilmuwan. Karena sepanjang para ilmuwan memang benar-benar telah mencapai kebenaran di dalam pekerjaan mereka, maka penemuan-penemuan mereka tidak akan bertentangan dengan kebenaran yang dinyatakan di Alkitab, meskipun pembahasaan di Alkitab tidak disampaikan dalam bahasa ilmiah yang telah dicapai pada saat ini.
Jika pandangan kita terhadap Alkitab sama seperti pandangan Lewis, penulis sangat yakin bahwa kita akan siap untuk terbuka kepada para ilmuwan dan mau mendengarkan apa yang mereka coba katakan tanpa takut penemuan-penemuan mereka akan menggoncangkan iman kita terhadap Alkitab. Bahkan kita pun akan siap menguatkan saudara-saudara Kristen kita untuk menjadi ilmuwan yang baik dan menggunakan ilmu pengetahuan untuk kemuliaan Allah. "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu" (Kej. 1:28; NIV).
KESIMPULAN DAN TANGGAPAN
Ada dua hal yang dapat disimpulkan dari studi tentang doktrin dan kegunaan Alkitab menurut Lewis. Pertama, ia menyatakan betapa luasnya kebenaran Allah dan keterbatasan manusia. Hal itu ia kemukakan tanpa mengurangi otoritas Kitab Suci dan kegunaannya sebagai tolok ukur kehidupan semua orang. Kedua, pandangannya terhadap Alkitab menjaga kita untuk tidak meletakkan God in the Dock, yang berarti menempatkan Allah di kursi terdakwa dan kita sebagai pendakwanya.30 Hal ini tentu mengingat keberadaan kita sebagai ciptaan dan Allah sebagai pencipta; biarlah Allah menjadi Allah dan manusia menjadi manusia.
Lewis dikenal sebagai apologis Kristen yang cukup dikagumi pemikiran-pemikirannya. Salah satu argumentasinya yang terkenal sehubungan dengan Kristus adalah:
A man who was merely a man and said the sort of things Jesus said would not be a great moral teacher. He would either be a lunatic ... or else he would be the Devil of Hell. You must make your choice. Either this man was, and is, the Son of God: or else a madman or something worse. You can shut Him up for a fool, you can spit at Him and kill Him as a demon; or you can fall at His feet and call Him Lord and God. But let us not come with any patronising nonsense about His being a great human teacher. He has not left that open to us. He did not intend to.31
Argumentasinya adalah bahwa Kristus dengan segala yang dinyatakan tentang Dia di dalam Kitab Suci, tidak mungkin orang gila, setan atau pembohong. Pilihan kita hanya satu, yaitu Ia adalah Tuhan dan Allah.
Tanggapan yang diberikan kepada Lewis adalah, mengapa ia tidak memakai pola argumentasi yang sama dalam menjelaskan inspirasi Kitab Suci, serta memakai, misalnya, bagian Kitab Suci seperti 2 Timotius 3:16-17; 1 Petrus 1:21; Matius 5:18, yang menyatakan pengakuan Kristus dan para rasul akan inspirasi Kitab Suci dalam membangun argumentasinya? Kita tidak akan pernah tahu dan tidak seharusnya kita berspekulasi tanpa ada bukti yang jelas. Mengingat Tuhan memakai setiap orang yang memiliki peran berbeda dalam zaman yang berbeda untuk tujuan tertentu sesuai dengan rencana-Nya, maka biarlah kita belajar dari Lewis sesuai dengan porsi yang diberikan oleh Tuhan kepadanya, tidak lebih dan tidak kurang dan segala kemuliaan tetap hanya bagi TUHAN.
Footnote:
1 The Joyful Christian (New York: Macmillan, 1977) 111.
2 I have been suspected of being what is called a Fundamentalist" (C. S. Lewis, Reflections on the Psalms [New York: HBJ, 1958] 109). "Liberals accuse him of being fundamentalist. Fundamentalists accuse him of being liberal. How are we, then, to understand Lewis' 'mere' Christianity? Does he lean toward the right or the left on the theological spectrum?" (Michael J. Christensen, C. S. Lewis on Scripture [Texas: Word, 1979] 24). "I am amazed the extreme positions within Christendom that claim Lewis as the champion and defender of their own denominational faith. These extremes are seen on a continuum between the liberals and the fundamentalists.... Even within Protestant Christianity there are the extremes of the most conservative Baptist to the most charismatic Pentecostals claiming Lewis as one of their own" (Duncan Sprague, "The Unfundamental C. S. Lewis: Key Components of Lewis' View of Scripture," Mars Hill Review 2 [1995] 53).
3 "C. S. Lewis became all things to all readers. For the child ... he created the land of Narnia and the untamed lion/savior.... For science fiction readers ... Ransom. For the philosopher and theologian he reasoned about pain and miracles, as well as debating doctrines of Christianity and the philosophy of men. For the lover of myth, he wrote an adaptation of the myth of Cupid and Psyche. For the pain stricken he observed grief and spoke of prayer. For those enchanted with rhyme he wrote poetry. For those concerned with the afterlife he wrote about Heaven and Hell and exposed the mind of Satan. For the weak and questioning he wrote letters of personal encouragement and advice" (ibid. 53).
4 Science is in continual change and we must try to keep abreast of it. For the same reason, we must be very cautious of snatching at any scientific theory which, for the moment, seems to be in our favour" (C. S. Lewis, God in the Dock [Grand Rapids: Eerdmans, 1989] 92). "Lewis critizes certain Freudian theories, not because they are necessarily untrue but because they claim too much. Not satisfied with their being a part of the truth, Freud presented them as the whole truth" (Richard B. Cunningham, C. S. Lewis Defender of the Faith [Philadelphia: Westminster, 1967] 51).
5 Lewis, The Joyful 102-104.
6 The Son of God became a man to enable men to become the sons of God" (ibid. 50)
7 When a series of such re-tellings turns a creation story which at first had almost no religious or metaphysical significance into a story which achieves the idea of true Creation and of a transcendent Creator (as Genesis does), then nothing will make me believe that some of the re-tellers, or someone of them, has not been guided by God" (Lewis, Reflections 110-111).
8 Kathryn Lindskoog, C. S. Lewis Mere Christian (Illinois: Harold Shaw, 1987) 182.
9 Christensen, C. S. Lewis 77.
10 Lewis, God 66.
11 Ibid. 66-67.
12 Lindskoog, C. S. Lewis 181.
13 Lewis, Reflections 60-61.
14 Ibid. 109, Iih. juga Lewis, God 63-67.
15 Christensen, C. S. Lewis 92-93.
16 The medium of expression may be cultural, but the message is not" (ibid.-93).
17 "Myth for Bultmann is the undifferentiated discourse of a pre-scientific age. It is the purpose of myth to express man's understanding of himself, not to present an objective picture of the world" (Cunningham, C. S. Lewis 94-95).
18 Ibid. 75.
19 C. S. Lewis, An Anthology of C. S. Lewis a Mind Awake (ed. Clyde S. Kilby; New York: HBJ, 1968) 65.
20 Higher criticism memperhatikan tiga hal: pertama, sumber-sumber yang melatarbelakangi suatu karya literatur; kedua, mengindentifikasi jenis literatur tersebut; ketiga, penulisan dan waktu penulisan. Sedangkan lower criticism berhubungan dengan teks Kitab Suci dan transmisinya.
21 Prinsip utama dari verbal plenary inspiration adalah: 1) Allah adalah penulis Alkitab; 2) Fokus dari inspirasi adalah penulis Alkitab; 3) Semua data di Alkitab adalah tanpa salah baik secara historis, geografis, ilmiah, kata-kata dan pengajarannya; 4) Supervisi Allah berlangsung terus sampai pada proses penyalinan, sehingga keakuratan dan kebenarannya terjamin.
22 Lewis, Reflection 110.
23 Lewis percaya bahwa Allah dapat berinterferensi dalam sejarah manusia (lihat pcmbahasan Lewis mengenai mujizat dalam bukunya, Miracles [New York: Macmillan. 1960]).
24 Christensen, C. S. Lewis 17-1S.
25 Mengenai hal ini dapat dilihat juga dalam pembahasan Lewis tentang mujizat pada waktu ia menjelaskan naturalis dan supranaturalis (lih. Miracles).
26 C. S. Lewis & Francis Schaeffer (Downers Grove, IL: IVP, 1998) 122.
27 C. S. Lewis, Mere Christianity, (London: Fontana, 1960) 38.
28 Kenneth Howell, Class Notes in Theology and Science (Jackson: RTS, 1989); Richard F. Carlson ed., Science and Christianity: Four Views (Downers Grove: IVP, 2000).
29 Del Ratzsch, Science and Its Limits (Downers Grove: InterVarsity, 2000) 133-134.
30"Manusia zaman dahulu mendekati Allah (atau bahkan para dewa) sebagai seorang tertuduh mendekati hakimnya. Bagi orang modern peran tersebut dibalik. Manusia adalah hakim, Allah berada di kursi terdakwa" (Lewis, God 244).
31 Lewis, Mere Christianity 52-53.
Diambil dari:
Judul Jurnal | : | Veritas (Vol.4, No.2, Oktober 2003) |
Judul Artikel | : | Doktrin dan Penggunaan Kitab Suci Menurut C. S. Lewis |
Penulis | : | Rahmiati Tanudjaja |
Penerbit | : | SAAT, Malang |
Halaman | : | 189 -- 203 |
Nats: Lukas 23:33-43
---------------------------
"Apakah pernyataan-pernyataan iman kita/pernyataan religius dari mulut kita itu sesuai dengan sikap hati kita yang sebenarnya"
Coba perhatikan kalimat-kalimat yang diucapkan oleh kedua penjahat yang digantung bersama Yesus di bukit Golgota. Apabila kita tidak memerhatikan atau apabila kalimat itu dilepaskan dari apa yang terjadi sebelumnya, lepas dari respons penjahat yang lain (ay. 39), maka pernyataan, "Bukankah Engkau adalah Kristus, selamatkanlah diri-Mu dan kami" tidak akan dapat ditafsirkan sebagai suatu hujatan, atau tidak akan terlihat bahwa kalimat ini keluar dari seorang yang tidak tahu diri, seperti yang dikatakan oleh temannya yang menegur dia. Ini kalimat yang wajar keluar dari orang yang sedang menderita, sedang digantung, sedang disalibkan.
Seperti misalnya kita tahu bahwa seseorang itu adalah Superman dan kita sedang bersama dengan dia dalam kurungan, kita dapat mengatakan, "Kamu-kan Superman, tolong dong, ayo kita kabur bersama". Pengharapan karena tahu bahwa itu adalah hal yang mampu dilakukannya. Kalau kalimat ini berdiri sendiri kita tidak akan tahu bahwa pernyataan ini berupa hujatan, penghinaan, lahir dari suatu ketidaktahudirian. Demikian juga di ayat 42, saat penjahat yang kedua mengeluarkan pernyataan sebagai berikut, sesaat setelah menegur temannya ia mengatakan: "Yesus ingatlah akan aku apabila Engkau datang sebagai Raja". Biasanya kita mendengar suatu pengajaran bahwa saat seseorang mau menjadi orang percaya, ia harus menyadari bahwa ia orang berdosa, dan ada suatu pernyataan bahwa dia mau mencrima Yesus sebagai Juru Selamat secara pribadi. Tapi penjahat ini tidak menyatakan hal semacam itu.
Kalimat ini juga bisa punya pengertian macam-macam. Kalau kita lepas daripada tanggapan Tuhan Yesus atau dari apa yang dikatakan sebelumnya, maka kita bisa punya pemikiran bahwa orang ini mungkin suka atau simpati pada Yesus, atau dia mengharapkan sesuatu dari Tuhan Yesus, karena itu dia berkata "Kalau Engkau menjadi raja, tolong dong ingat saya". Dalam arti, dia bisa saja punya pengharapan seperti murid-murid Yesus, yang ingin berada di sebelah kiri dan kanan Yesus, merupakan suatu pernyatan yang lahir dari motivasi yang haus akan kedudukan. Kita lihat bahwa pernyataan-pernyataan seperti ini, bisa ditafsirkan balk secara negatif maupun positif. Kita lihat dari pernyataan nomor 1 terlebih dahulu, Yesus melihat isi hati dari orang itu, sikap hatinya dan teman yang sesama penjahat ini, yang sudah cukup mengenalnya, tahu bahwa pernyataan itu keluar dari hati yang jahat, yang tidak baik, Kita tahu hal itu karena Tuhan tidak langsung mengoreksi atau menegur penjahat pertama.
Tapi sebaliknya dengan penjahat kedua, yang mengatakan: "Yesus ingatlah akan aku apabila Engkau datang sebagai Raja", rupanya pernyataannya cukup bagi Yesus, yang mengetahui luar dalam dari orang tersebut. Itu bukan hanya suatu perkataan saja, yang keluar dari bibirnya, tapi juga sikap hatinya. Yesus tahu motivasi dan tujuan pernyatannya, bagi Yesus ini merupakan pernyataan iman yang cukup, yang mengakui siapa Tuhan Yesus dan signifikansi/kepentingan Yesus bagi dirinya. Sehingga tanggapan dari Yesus itu jelas, di ayat 43, "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya, hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus".
Dengan kata lain pernyataan ini mempunyai isi pernyataan iman yang sama dengan yang dituntut dari Yoh. 1:12.
1:12 Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya;
Orang ini tidak mengatakan, aku orang berdosa, aku percaya kepada-Mu, aku mau menerima Engkau sebagai Juru Selamat. Tapi pernyataan yang diucapkannya itu cukup dan Yesus melihat sampai ke dalam hatinya itu dan Dia menyelamatkannya dari murka Allah.
Ada berapa banyak pernyataan-pernyataan kita yang bersifat religius, pernyataan-pernyataan yang kelihatan seperti pernyataan iman, keluar dari mulut kita, banyak pernyataan yang bersifat rohani, tapi yang menjadi persoalan, apa pernyataan itu sesuai dengan sikap hati kita. Kita bisa mengelabui manusia dengan berbagai macam pernyataan rohani yang keluar dari mulut kita, sehingga mereka berpikir bahwa kita manusia yang rohani, cinta Tuhan, dekat dengan Tuhan karena begitu banyak pernyataan-pernyataan religius, pernyataan-pernyataan iman yang keluar dari mulut kita. Tapi jangan lupa, Tuhan tahu apa yang ada dalam kita, jangan sampai terjadi seperti yang Tuhan katakan kepada bangsa-Nya, bangsa pilihan-Nya, yang melakukan ibadah, yang sudah menyatakan pernyataan religius, tapi Tuhan tahu isi hati mereka adalah penilaian yang tidak bisa dibohongi (Yesaya 29:13).
29:13 Dan Tuhan telah berfirman: "Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh daripada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan,
Matius 7:21-23
7:21. Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.
7:22. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga?
7:23. Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah daripada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!
Kiranya apa yang dinyatakan firman Tuhan ini tidak terjadi pada kita. Apa yang dijelaskan di dalam Injil Lukas, pernyataan itu keduanya keluar dari penjahat yang sedang menerima hukuman atas kejahatannya. Orang pasti berpraduga bahwa yang keluar dari mulutnya pasti jahat. Tapi Tuhan tidak bisa dibohongi, Ia tidak melihat apa yang di luar saja. Ada pernyataan yang diterima dan ada yang ditolak, karena Tuhan melihat sikap hatinya. Yang satu pernyataannya kelihatannya, bisa ditafsirkan tidak seperti hujatan, tapi dari sikap hatinya, seperti yang dikatakan Tuhan buah yang baik keluar dari pohon yang baik, dari pohon yang tidak baik, pasti buahnya tidak baik.
Dari penjahat yang kedua, dilihat/ditafsirkan oleh manusia sepertinya perkataan yang keluar dari hati yang jahat, tetapi Tuhan melihat ke dalam hatinya bahwa pohonnya balk dan buahnya pasti baik. Bagaimana dengan Saudara dan saya? Mungkin Saudara berkata kita tidak sama dengan penjahat itu. Kita sudah ditebus, dan menjadi anak-anak Tuhan. Pertanyaannya adalah apakah pernyataan religius yang kita keluarkan, apakah Tuhan akan mendapati bahwa itu sesuai dengan sikap hati kita. Dari pohon yang baik keluar buah yang baik. Biar kita bukan orang yang bukan mengaku Tuhan dari mulut saja tapi juga dari hati. Amin.
Diambil dari:
Judul jurnal | : | Mimbar Gereja (Edisi 8, Tahun 2002) |
Judul artikel | : | Penyataan Iman |
Penulis | : | Rahmiati Tanudjaja |
Penerbit | : | Benny Solihin dan Yusman Liong, Jakarta |
Halaman | : | 55 -- 56 |
VERITAS 2/2 (Oktober 2001) 211-222
Gerakan Reformasi tidak hanya terjadi di Jerman, di mana Martin Luther mencetuskan 95 tesisnya pada 31 Oktober 1517. Negara-negara Eropa lainnya, seperti Skotlandia, juga terlibat dalam gerakan ini. Setiap negara memiliki tokoh reformasinya masing-masing yang berusaha agar gereja kembali berjalan sesuai dan berdasarkan otoritas firman Tuhan. Reformasi di Skotlandia sangat berkaitan erat dengan perkembangan politik di negara itu. Karena itu, untuk memahami reformasi di Skotlandia, maka pertama-tama kita perlu memahami situasi politik saat itu serta kaitannya dengan situasi di dalam gereja. Setelah itu, kita akan melihat bagaimana Knox menanggapi situasi politik di sekitarnya, baik secara lisan maupun tulisan. Pemaparan akan difokuskan secara khusus pada hal-hal praktikal di dalam gereja dan sakramen.
Perancis dan Inggris merupakan dua negara yang sangat berpengaruh dalam reformasi di Skotlandia. Untuk mengetahui situasi Skotlandia pada saat itu, penulis akan membahas pengaruh Perancis dan Inggris terhadap negara ini secara langsung maupun tidak langsung.1 Pembahasan akan dititikberatkan pada tokoh-tokoh pemerintah Perancis dan Inggris yang memiliki pengaruh besar dalam reformasi Skotlandia, khususnya terhadap apa yang diperjuangkan dan dinyatakan oleh John Knox. Tokoh-tokoh pemerintah Inggris dan Perancis yang memberi pengaruh terbesar dalam perkembangan reformasi Skotlandia, khususnya pada masa Knox, semuanya wanita, yaitu: Mary Tudor, Mary Stuart, dan Elizabeth.
Mary Tudor adalah putri Raja Inggris, Henry VIII, dan Catherine dari Aragon. Ia memanfaatkan relasinya dengan Gereja Roma Katolik untuk memantapkan posisinya sebagai Ratu Inggris.2 Oleh kaum Protestan, ia disebut "Bloody Mary", karena dalam usahanya merestorasi Katolikisme, ia telah membunuh dan memenjarakan banyak pemimpin Protestan. Untuk menghindari penganiayaan Mary Tudor, Knox pergi ke Swiss di mana ia bertemu John Calvin di Jenewa dan Bullinger (pengganti Zwingli) di Zurich. Pertemuan dengan kedua tokoh reformator itu semakin meneguhkannya untuk terus memerjuangkan reformasi di negaranya. Selama di pengasingan, ia menulis sebuah buku yang menyerang wanita-wanita yang memerintah di Eropa saat itu, yaitu "The First Blast of the Trumpet against the Monstrous Regiment of Women".
Mary Stuart
Mary Stuart adalah putri Raja Skotlandia, James V, dan Mary dari Guise, Perancis. Pada usianya yang keenam belas, ia adalah ratu dari tiga negara, yakni sebagai Ratu Perancis (karena ia menikahi Francis II, Raja Prancis, pada tahun 1558), menyandang gelar Ratu Skotlandia, dan Ratu Inggris (karena ia adalah cucu Henry VII, dan apabila sepupunya Elizabeth dinyatakan sebagai anak yang tidak sah oleh gereja, maka dialah yang berhak menyandang jabatan itu). 3 Setelah kematian suaminya, pada tahun 1961 Mary Stuart pindah ke Skotlandia dan menerima tawaran untuk menjadi Ratu Skotlandia. Ketika pertama kali tiba di Skotlandia, ia bersikeras untuk mengadakan misa di kapel pribadinya sehingga menimbulkan reaksi keras dari kaum Protestan, khususnya dari Knox.4
Knox bertemu dengan Mary Stuart sebanyak empat kali. Percakapan-percakapan di dalam pertemuan itu antara lain menyangkut sejauh mana sebenarnya otoritas yang dimiliki oleh seorang penguasa pemerintah dikaitkan dengan firman Allah dan otoritas Allah. Ratu Mary mempertanyakan mengapa Knox menganjurkan orang untuk memilih agama yang tidak direstui oleh ratu. Di hadapan ratu, dengan segala konsekuensi yang harus diterimanya, Knox tetap berpegang teguh pada kebenaran yang ia yakini berdasar pada otoritas firman Allah. Ia menyatakan bahwa agama yang benar tidak pernah didasarkan pada ketentuan yang ditetapkan oleh seorang penguasa. Seharusnya Mary Tudor belajar dari sejarah, di mana umat Allah selama di Mesir tidak pernah menganut agama dari Firaun, dan pada zaman Romawi, mereka juga tidak menganut agama kaisar Romawi.5
Elizabeth
Elizabeth adalah saudara tiri Mary Tudor, dan ia menggantikan Tudor setelah ia wafat pada tahun 1558. Ia menjadi musuh dari Mary Stuart dan posisinya terancam oleh Stuart karena menurut Gereja Katolik posisi Elizabeth tidaklah sah. Karena alasan yang sama seperti Mary Tudor, yang menjadi Katolik demi kepentingan dan kebutuhan politik, Elizabeth memilih untuk menganut Protestan. Sebagai seorang politisi, ia berusaha untuk merangkul semua pihak guna mendapat dukungan dari semua pihak.
Mary Tudor adalah salah seorang wanita yang dituju oleh Knox dalam bukunya, "The First Blast of the Trumpet Against the Monstrous Regiment of Wome". Sedangkan Elizabeth, oleh Knox, disebut sebagai "Debora".6
Meskipun buku itu sebenarnya ditujukan kepada saudara tirinya yang telah meninggal, Elizabeth tetap tidak menyukai tulisan Knox tersebut.
"Confound multitudes if we unfeignedly depend upon Him, where of heretofore we have had experience. But when we join hands with idolatry, both God's amicablepresence and comfortable defence leaveth us, and what shall then become of us? Alas, I fear that Experience shall teach us, to grief of many." (John Knox, The Reformation in Scotland [Edinburgh: The Banner of Truth Trust, 1982] 269 -- 270).
Ia menganggap bahwa tulisan itu didasarkan pada prejudis antiperempuan, dan itu berarti tulisan tersebut bisa diaplikasikan pada dirinya pula. Pada masa Elizabeth, Knox berharap ia dan rakyat Inggris mau menganut iman Reformed.7 Namun, buku itu telah menjadi kendala baginya untuk dapat diterima dan mendapatkan dukungan sepenuhnya dari Elizabeth.
John Knox
Kapan Knox dilahirkan tidak dapat kita ketahui setepat-tepatnya, namun menurut referensi Theodore Beza dan yang lainnya, dapat kita katakan bahwa ia lahir antara tahun 1513 hingga 1515.8 Setelah menyelesaikan studinya di sebuah sekolah lokal di Haddington, ia masuk ke St. Andrews, di mana John Major telah mengajar sejak 1531, dan ke Universitas Glasgow. Sama seperti kelahirannya, kita tidak memiliki bukti langsung tentang kelulusannya, karena itu kita tidak mengetahui kapan tepatnya Knox lulus dari universitas. Pada tahun 1543, Knox bertemu George Wishart,9 dan melalui karya Roh Kudus, ia bertobat ketika membaca Yohanes 17 yang berisi "Doa Imam Besar" Kristus bagi murid-murid-Nya dan bagi orang-orang yang percaya melalui kesaksian mereka. Dari isi pasal inilah muncul tema surat-surat, pamflet, dan khotbah-khotbah Knox: pertama, keselamatan Kristen hanya melalui iman kepada Yesus Kristus; kedua, orang Kristen dipanggil untuk melayani Kristus; ketiga, sebagai akibatnya, orang Kristen menjadi musuh dunia, namun mereka memiliki jaminan hidup yang kekal.10
Wishart dieksekusi oleh gereja di muka St. Andrews. Eksekusi ini memberi pengaruh yang dalam terhadap Knox. Lima minggu terakhir bersama Wishart telah mempersiapkannya untuk menjadi reformator pada masa mendatang. Dampak lain dari kematian Wishart terhadap Knox adalah hal itu menimbulkan kebencian yang besar terhadap kardinal dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya.
Setelah serangan terhadap St. Andrews tersebut, Knox melanjutkan pelayanannya di sana sebagai "Peniup Trompet Allah". Pada tahun 1547, Perancis merebut St. Andrews dan ia dikirim ke kapal-kapal.
Kemudian setelah dilepaskan pada tahun 1549, Knox melayani gereja-gereja di Inggris dan ditawari jabatan bishop, namun ia menolaknya. Pada tahun 1551, ia ditunjuk menjadi salah seorang pendeta kerajaan. Belakangan, ia melayani jemaat-jemaat di Jerman dan Swiss, dan sangat dipengaruhi oleh Calvin di Jenewa. Tahun 1559, ia kembali ke Skotlandia dan menolong rakyat dalam gerakan reformasi serta memertahankan iman Protestan. Selama perjuangannya melawan Mary Stuart, ia menerima pelayanan untuk jangka waktu yang singkat di St. Andrews dan melayani sebagai pendeta di Edinburgh hingga kematiannya pada tahun 1572.11
Rangkuman
Setelah mengamati situasi politik di Skotlandia, kita dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
Berdasarkan latar belakang sejarah pada saat itu dan kehidupan pribadi Knox, penulis akan membahas pandangannya tentang reformasi praktikal gereja dan sakramen.
Reformasi Gereja dalam Hal-Hal Praktikal
Pandangan Knox tentang reformasi gereja dalam hal-hal praktikal direfleksikan dalam "Book of Discipline and the Scot Confession", namun dalam artikel ini penulis akan menguraikan pandangannya tentang isu ini sesuai dengan yang ia tulis dalam "Brief Exhortation to England" yang diselesaikan pada bulan Januari 1559.12
Knox memberikan nasihat khusus kepada Inggris untuk reformasi gereja mereka, dan mengawali nasihatnya itu dengan memberikan dasar yang biblikal, yakni bagaimana reaksi Allah terhadap perzinahan yang telah dilakukan Israel dan apa yang seharusnya dilakukan oleh umat Allah agar dapat diterima di hadirat Allah.13 Berikut ini adalah nasihat Knox yang didasarkan pada perspektif biblikalnya:
Di samping memertahankan aturan di antara para pengkhotbah dan kebutuhan gereja, nasihat ini juga dapat mencegah adanya pengkhotbah atau pendeta perorangan menjadi pendeta di banyak gereja, memeroleh gaji dari gereja-gereja tersebut, tetapi sangat jarang, bahkan tidak pernah pergi ke gereja-gereja itu. Knox ingin agar hal ini dihentikan dan membiarkan para pendeta memeroleh gaji yang sepantasnya.
Sekolah-sekolah harus didirikan di semua kota utama dengan tujuan untuk memelihara iman Protestan. Pengelolaan sekolah harus diserahkan kepada orang-orang yang berdedikasi dan terbeban untuk mendidik dan memperlengkapi orang-orang yang takut akan Tuhan.21 Sekolah-sekolah tersebut harus terbuka bagi siapa pun (semua kelas dalam masyarakat, tanpa perbedaan).
Sakramen
Knox yakin bahwa sakramen-sakramen dilaksanakan bagi orang percaya dan itu bukan sekadar tanda untuk menunjukkan perbedaan antara orang percaya dan yang tidak, namun juga memiliki makna untuk menyatakan iman kita sebagai anak-anak Allah. Manfaat sakramen adalah untuk memeteraikan jaminan janji-janji Allah di dalam hati orang percaya, dan untuk merefleksikan persekutuan kita sebagai tubuh Kristus dengan Sang Kepala, yaitu Yesus Kristus.22
1. Baptisan
Knox menyatakan bahwa melalui baptisan, kita dicangkokkan ke dalam Yesus Kristus dan dijadikan partisipan dalam keadilan-Nya, yang melalui-Nya dosa-dosa kita ditutupi dan diampuni.23 Tetapi itu tidak berarti bahwa tanda eksternal tersebut lebih berarti dibandingkan dengan iman orang percaya, "for be faith, and not be externall signes doith God purge oure hartis ...."24 Karena itu, ia tidak mau mengesampingkan unsur kerinduan yang benar dari orang tua yang telah dengan tulus meyakini baptisan Katolik sebagai baptisan yang sah. Ia tidak setuju dengan orang-orang yang berkata bahwa baptisan itu tidak sah. Ia yakin bahwa baptisan Katolik sah karena telah dilaksanakan di dalam nama Allah Tritunggal. Knox mengakui bahwa ada ketidakbenaran di dalam gereja, namun itu tidak membuat baptisan menjadi tidak sah. Roh Kudus telah bekerja untuk menyucikan baptisan itu.25 Knox yakin baptisan telah ditetapkan untuk dilaksanakan dengan elemen air, yang berarti, seperti air membasuh kekotoran tubuh di bagian luar, demikian juga darah Kristus, membersihkan bagian dalam diri kita dari ketidakbenaran dan racun dosa yang mematikan.26
2. Perjamuan Kudus
Knox tidak setuju dengan gagasan transsubstansiasi, yaitu bahwa Kristus benar-benar hadir di dalam roti dan air anggur. Ia mengatakan bahwa pokok persoalannya bukanlah hadir atau tidaknya Kristus di dalam roti dan air anggur, melainkan kehadiran-Nya di dalam diri orang percaya melalui iman. Knox percaya bahwa Kristus hadir secara spiritual di dalam elemen-elemen tersebut, dan karena itu, kita harus menerimanya dengan iman. Dengan kata lain, ketika Yesus berkata: "Inilah tubuh-Ku," tidak berarti bahwa Ia mengartikannya secara harfiah, namun dengan makna atau pemahaman sakramental.27
3. Pelaksanaan Sakramen yang Benar
Ada beberapa hal penting untuk pelaksanaan sakramen yang tepat yang harus diikuti dengan cermat:
4. Siapa yang Dapat Mengambil Bagian dalam Sakramen?
Baptisan
Baptisan dilakukan kepada anak-anak dari orang percaya dan juga kepada mereka yang telah cukup umur dan atas kebijaksanaan gereja. Dalam suratnya kepada Calvin, Knox menanyakan apakah anak-anak dari para penyembah berhala dan orang-orang yang diekskomunikasikan dapat menerima baptisan, atau harus menunggu hingga orang tua mereka bertobat dan menyerahkan diri mereka sendiri kepada gereja, ataukah hingga keturunan mereka itu memenuhi kualifikasi untuk meminta baptisan?29 Untuk isu ini, Knox berbeda pendapat dengan Calvin.30 Menurut penulis, alasan Knox adalah karena ia berada dalam proses memelihara disiplin di antara orang percaya selama masa reformasi gereja dan ia ingin menggunakan sakramen-sakramen sebagai sarana untuk mendisiplin umat Allah.
Perjamuan Kudus
Perjamuan Kudus hanyalah untuk orang percaya yang sejati yang dapat menguji diri sendiri, baik dalam hal iman juga dalam hal kewajiban mereka terhadap sesama. Karena itu, Knox yakin bahwa penting bagi orang-orang yang mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus untuk menguji diri mereka sendiri atau untuk diuji oleh pendeta agar mereka datang ke meja Tuhan sesuai dengan kehendak Allah.
Berkaitan dengan reformasi gereja dalam hal-hal praktikal, jelas sekali bahwa pendapat Knox sangat dipengaruhi oleh situasi pada masa itu. Namun, itu tidak berarti bahwa kita tidak dapat mengaplikasikan prinsip-prinsipnya di dalam gereja kita saat ini. Ada beberapa prinsip yang dapat kita aplikasikan dan penulis berpendapat hal itu bisa selalu diaplikasikan berkaitan dengan reformasi di dalam gereja, yaitu:
Berkaitan dengan sakramen, ada beberapa prinsip yang dapat kita pelajari dari Knox, yaitu:
Akhirnya, di samping pandangan Knox tentang reformasi gereja dalam hal-hal praktikal dan sakramen, ada beberapa hal lain yang dapat kita pelajari dari pribadi Knox sendiri. Pertama, ia menggunakan firman Allah sebagai sumber dan standar dari argumentasi dan pendapatnya. Kedua, dengan menjadi "Peniup Trompet Allah", ia menjadi seorang nabi Allah yang berani mengatakan kebenaran di tengah-tengah dunia yang korup. Ia bukan hanya siap untuk berkata-kata bagi Allah di tengah-tengah kekorupan manusia, namun ia juga siap menghadapi konsekuensinya.
John Knox bukannya tanpa salah, namun ia telah berusaha untuk memenuhi panggilan dan misi Allah baginya di zamannya. Pada setiap zaman, ada pergumulan dan kebutuhannya sendiri. Apa pun pergumulan dan kebutuhan itu, firman Tuhan tetap harus menjadi tolok ukur tertinggi. Kini, giliran kita untuk menjadi "Peniup Trompet Allah" pada zaman ini. Sebagai penutup artikel ini, penulis mengutip doa Knox yang ia tulis pada bagian akhir nasihatnya kepada Inggris.
God the Father of our Lord Jesus Christ, by the power of his Holy Spirit so illuminate and so move your hartes, that clearly ye may see, and perfitly understand, how horrible hathe bene your fall from his veritie; how fearful and terrible it is to fall into his handes without hope of mercie; and what is that his unspeakable mercie which yet againe he offereth unto you; and that it may please his Eternal goodness to indue you with such wisdome, prudence, and fortitude, that seing his good plesur in his Word reveled, without all feare ye may follow the same, to the advancement of his glorie, to the consolation of his afflicted Church, and to your everlasting comfort, through our onely Mediator, Redeemer, Peacemaker, and Lawgever, Christ Jesus our Lord, whose Holy Spirit rely your hartes in his true feare. So be it.33 They who are about to receive it may receive it with benefit, there is no reason to doubt that this is a true consecration." (John Calvin, Institutes of the Christian Religion [ed. John T. McNeill; Philadelphia: Westminster, 1960] IV.xvii.39).
VERITAS 1/1 (April 2000) 19-27
Kata "kontekstualisasi" telah ditambahkan pada perbendaharaan kata dalam bidang misi dan teologi sejak diperkenalkan oleh Theological Education Fund (TEF) pada tahun 1972.1 Konteks pembicaraan tentang kontekstualisasi dalam diskusi TEF adalah pendidikan teologi di negara-negara dunia ketiga.2 Namun, para misiolog menyadari bahwa ide dari kontekstualisasi itu sendiri sebenarnya sudah ada jauh sebelum TEF bersidang, yaitu terdapat di Kitab Suci.3 Contohnya adalah inkarnasi Yesus Kristus dan pendekatan Paulus pada waktu ia mengomunikasikan Injil kepada orang bukan Yahudi (Kis. 17:16-34; 1 Kor. 9:19-23).
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila ada di antara para misiolog yang beranggapan bahwa kontekstualisasi hanya merupakan istilah baru dari istilah-istilah yang telah ada dan dipakai sebelumnya. Istilah-istilah itu adalah indigenisasi, inkulturasi, akomodasi, dan adaptasi. Selain itu, para misiolog dan teolog juga berbeda pendapat tentang apa yang perlu dikontekstualisasikan. Apakah Alkitabnya, teologinya, atau berita Injilnya? Mereka juga mendiskusikan tentang sejauh mana proses kontekstualisasi itu boleh dilakukan. Apakah hanya isinya, bentuknya, atau keduanya? Oleh karena itu, tulisan ini akan menjabarkan pengertian kontekstualisasi dan korelasi pengertian kontekstualisasi dengan aplikasi kontekstualisasi sebagai sebuah strategi misi.
Bagian ini dibagi ke dalam tiga topik pembahasan: pertama, pemaparan persepsi kontekstualisasi; kedua, hubungan antara kebudayaan dan worldview 4 dengan kontekstualisasi; dan ketiga, penyajian model-model kontekstualisasi.
Persepsi kontekstualisasi akan dipaparkan berdasarkan konteks misiologis dan teologis. Pemaparan tentang apa yang dimaksudkan dengan kontekstualisasi akan dilakukan melalui penjelasan tentang apa yang seharusnya tidak dimaksudkan dengan kontekstualisasi. Penulis berharap melalui penjelasan semacam itu, kita akan lebih mendapatkan persepsi kontekstualisasi yang lebih komprehensif.
Pertama, konteks misiologis. James Bushwell III melihat kontekstualisasi hanya sebagai kata baru dari indigenisasi.5 Tetapi Staf TEF membantah dengan mengatakan bahwa kontekstualisasi memiliki arti yang lebih dari sekadar indigenisasi.
Indigenization tends to be used in the sense of responding to the Gospel in terms of a traditional culture. Contextualization, while not ignoring this, takes into account the process of secularity, technology, and the struggle for human justice, which characterize the historical moment of nations in the Third World. (Indigenisasi cenderung digunakan dalam kaitan untuk menanggapi injil sehubungan dengan budaya tradisional. Kontekstualisasi, dengan tidak mengabaikan hal itu, juga memerhitungkan proses dari sekularitas, teknologi, dan perjuangan untuk keadilan bagi manusia, yang merupakan karakteristik dari perjalanan sejarah negara di Dunia Ketiga).6
Pada umumnya, kontekstualisasi dilihat sebagai suatu istilah yang memaparkan tentang suatu proses di mana berita tentang iman Kristen dibuat menjadi relevan dan berarti bagi budaya yang menjadi penerima berita tersebut. Namun pernyataan di atas tidak berarti bahwa para misiologis dan teolog sepakat dalam penggunaan istilah tersebut. Louis J. Luzbetak, seorang misiolog Katolik, mengusulkan istilah "akomodasi".7
H. Kraemer, direktur pertama dari WCC Ecumenical Institute, mengatakan bahwa kalangan Protestan lebih memilih memakai istilah "adaptasi pada budaya". J. H. Bavinck, seorang teolog Reformed, lebih suka menggunakan istilah "kepemilikan budaya".8 Sedangkan Charles Kraft, seorang misiolog Protestan, memilih menggunakan istilah "transformasi budaya", dan C. S. Song, seorang teolog Asia, memilih istilah "inkarnasi".
Kedua, konteks teologis. Menurut H. Conn9 dan A. Konig11, kontektualisasi selalu merupakan suatu karakteristik dari teologi. Sedangkan menurut C. Kraft, kontekstualisasi bukan berarti suatu kontekstualisasi dari teologi yang sudah ada. Kraft menyatakan bahwa teologi kontekstual adalah penerjemahan secara "dynamic equivalent"11 dari berita iman Kristen yang diambil secara langsung dari Kitab Suci ke dalam berbagai budaya di dunia. Oleh karena itu, kontekstualisasi teologi haruslah alkitabiah dan tidak boleh hanya merupakan suatu proses dari jual beli produk teologis yang sudah ada, sebagaimana yang sering dilakukan oleh praktisi kontekstualisasi.
Para misiolog menegaskan bahwa kontekstualisasi bukan sinkretisme, akomodasi, atau teologi situasional. Bagi mereka, kontekstualisasi adalah teologi yang berorientasi pada Alkitab. Oleh karena itu, pada bagian ini, arti dari sinkretisme, akomodasi, dan teologi situasional akan dijelaskan supaya kita memiliki pengertian yang jelas tentang apa yang tidak dimaksudkan dengan pengertian kontekstualisasi.
Pertama, sinkretisme. Sinkretisme adalah suatu proses di mana unsur-unsur dari satu agama diintegrasikan ke dalam agama yang lain. Sebagai akibatnya, ada perubahan yang fundamental dari agama tersebut. Dengan kata lain, sinkretisme merupakan gabungan dari dua atau lebih kepercayaan yang saling bertolak belakang sehingga bentuk gabungannya merupakan sebuah hal yang baru. Menurut H. Conn, ada enam buah pertanyaan yang harus dijawab apabila seseorang ingin terhindar dari sinkretisme. Pertanyaan-pertanyaan ini akan menolong para misiolog untuk memiliki pengertian yang jelas tentang relasi antara teologi dan antropologi:
Hampir sama dengan itu, secara ringkas S. Rowen memberikan usulan yang lain untuk menghindari sinkretisme. Ia menyatakan bahwa kita harus dapat membedakan mana yang normatif dan mana yang deskriptif di dalam Kitab Suci. Untuk dapat melaksanakan hal itu, tidak ada cara lain, seorang praktisi dari kontekstualisasi dituntut atau diharuskan untuk memiliki pengetahuan Kitab Suci yang memadai.13
Kedua, akomodasi. Rupanya akomodasi memiliki pengertian yang berbeda bagi orang yang berbeda. Bagi J. Calvin, firman Allah di Alkitab merupakan penyataan Allah di mana melaluinya Ia telah mengakomodasikan diri-Nya pada kapasitas manusia.14 Sedangkan bagi misiolog Katolik, akomodasi berarti adanya suatu proses pentransmisian teologi Barat yang tidak berubah pada gereja-gereja Kristen di bagian dunia yang lain. Tetapi kontekstualisasi tidak memiliki arti yang sama dengan istilah akomodasi yang dipakai oleh Calvin, karena teologi kontekstual tidak memiliki otoritas yang sama dengan Kitab Suci. Demikian pula kontekstualisasi bukan akomodasi sebagaimana yang dimengerti dalam konteks misiologi Katolik, karena tujuan dari kontekstualisasi adalah untuk menghentikan jual beli teologi Barat. Karena itu, J. H. Bavinck menolak istilah akomodasi sebab menurutnya hal itu merupakan penyangkalan dari akibat dosa pada umat manusia secara keseluruhan. Baginya, akomodasi merupakan usaha untuk mengontekstualisasikan Injil dengan mengabaikan fakta bahwa budaya manusia telah dicemari oleh dosa.
Ketiga, teologi situasional. Bong Rin Ro15 dan C. Nunez dkk.16, yang adalah teolog-teolog yang berasal dari dunia ketiga, tidak setuju dengan pendekatan teologi ini. Mereka percaya bahwa konteks sosial dapat berubah dan arti dari teks Alkitab tidak boleh ditentukan oleh konteks sosial. Sebaliknya, para teolog pembebasan berbeda pendapat dengan kedua teolog di atas. Mereka mengatakan bahwa teologi harus bertitik tolak dari konteks sosial. Penderitaan-penderitaan dari manusia yang tersingkir dalam masyarakat, orang-orang yang tertindas, dan orang miskin merupakan sumber autentik untuk mengerti kebenaran kristiani. Para teolog pembebasan meyakini bahwa gereja dan dunia tidak boleh terpisah. Mereka menyatakan bahwa gereja harus membiarkan dirinya "didiami dan diinjili oleh dunia". Hal ini berarti gereja harus selaras dengan dunia. Pendapat inilah yang ditentang oleh F. Schaeffer17 dan teolog evangelikal lainnya. Karena menurut mereka, Kitab Suci adalah hakim bagi budaya dan bukan sebaliknya.
Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa kontekstualisasi bukanlah sinkretisme, akomodasi, atau teologi situasional. Kontekstualisasi adalah proses yang terus berlangsung dalam upaya menjadikan Injil diterima dan dimengerti oleh si penerima dalam budaya mereka yang dinamis, baik secara politik, sosial, dan ekonomi. Kontekstualisasi merupakan usaha untuk menjawab pertanyaan yang benar dalam budaya tertentu sesuai dengan Kitab Suci tanpa adanya pencemaran dari kebenaran itu sendiri. Bersamaan dengan itu, harus diakui bahwa iman Kristen (demikian pula kontekstualisasi) tidak dapat dipisahkan dari budaya. Sebab itu sangatlah penting bagi para misiolog dan teolog untuk mengerti bagaimana relasi budaya dengan Kitab Suci sebelum mereka mempraktikkan kontekstualisasi dalam pelayanan.
Luzbetak mengakui bahwa antropologi budaya adalah sebuah ilmu pengetahuan yang harus dikuasai oleh para misiolog (a missionary science par excellence). Tidak ada seni atau ilmu pengetahuan yang dapat menolong seorang misiolog untuk memahami prasangka budaya yang dimiliki oleh dirinya dan memahami budaya orang lain secara baik selain ilmu di atas. Konteks budaya, yang mana merupakan topik utama dari ilmu pengetahuan ini, merupakan perlengkapan dasar yang harus dimiliki oleh seorang misiolog.
Budaya dijelaskan sebagai pengetahuan sosial dari masyarakat tertentu, di mana orang-orang dalam masyarakat tersebut bekerja dan mengatasi segala macam masalah dalam kehidupan mereka sehari-hari. Namun, perlu diperhatikan bahwa menurut E. T. Hall, "budaya menyembunyikan lebih banyak daripada apa yang dinyatakannya, dan anehnya yang disembunyikan, secara paling efektif disembunyikan dari orang yang berbagian dengan budaya tersebut".18 Cara lain untuk mengatakan hal ini adalah: budaya merupakan sebuah sistem yang implisit dari aturan pengetahuan dan perilaku. Kelihatannya ada konsensus antropologis bahwa budaya pada dasarnya adalah ideational. Esensi dari budaya adalah ideologi atau worldview-nya, dan bukan pola perilaku yang dapat kita amati.19
Karena itu, budaya tidak dapat dipisahkan dari worldview. Menurut Kraft: "Worldview is culturally structured assumptions, values, and commitments underlying a people's perception of Reality."20 Sudut pandang dunia itu seperti kacamata yang telah terbentuk oleh budaya, di mana melalui kacamata itu, kita melihat segala sesuatu di sekeliling kita. Di satu pihak, budaya membentuk worldview. Di pihak lain, worldview membangun suatu budaya.
Dalam hal ini, S. Lingenfelter sangat tidak setuju dengan para misiolog yang melihat budaya dan worldview sebagai alat atau peta yang netral bagi kontekstualisasi. Ia tidak setuju karena pandangan ini menyangkali akibat dosa pada budaya dan worldview. Pada kenyataannya, budaya dan worldview telah tercemar oleh dosa, namun hal ini tidak berarti bahwa budaya dan worldview tidak berguna dalam kontekstualisasi.21 Maka yang diperlukan adalah perspektif yang seimbang dalam melihat hal ini. Menurut P. Hiebert, apabila orang Kristen telah memiliki pengetahuan Alkitab tanpa pengetahuan tentang masyarakat di sekitarnya, mereka akan memproklamasikan suatu berita yang tidak relevan dan sama sekali tanpa arti. Di pihak lain, apabila orang Kristen hanya memiliki pengertian budaya di sekitarnya tanpa pengertian tentang Injil dan dosa, mereka tidak memiliki berita untuk disampaikan.22 Oleh karena itu, para misiolog membutuhkan keduanya, yaitu pengertian tentang konteks budaya Alkitab dan budaya sekelilingnya.
Dengan demikian, kita dapat simpulkan bahwa kontekstualisasi Injil sangat erat hubungannya dengan pengetahuan budaya dan worldview. Para misiolog dan teolog harus mengetahui tiga hal ini untuk dapat mempraktikkan kontekstualisasi dengan sukses: pertama, konteks budaya dari Alkitab; kedua, konteks budaya mereka sendiri; dan ketiga, konteks budaya di sekeliling mereka di mana mereka melayani.
Beberapa misiolog masa kini telah berhasil memetakan kategori model-model kontekstualisasi yang ada. Misalnya, D. Hesselgrave mengusulkan empat kategori: liberal, neoliberal, neoortodoksi, dan ortodoksi.23 S. Bevans mengusulkan enam kategori: antropologis, penerjemahan, praksis, sintetik, semiotik, dan transendental.24 D. S. Gilliland menggunakan lima kategori pertama dari kategori Bevans dan ia menggantikan kategori transendental dengan model kritis.25 Kategori tersebut akan penulis jelaskan satu per satu.
Pertama, kategori Hesselgrave. Menurutnya, model liberal merupakan akomodasi sinkretistik. Metode ini berusaha mencari kebenaran yang baru melalui dialog yang bersifat kompromis antara kepercayaan yang berbeda dan hasilnya adalah Injil sinkretistik yang baru. Sedangkan model neoliberal dan neoortodoksi dapat dimengerti sebagai akomodasi kenabian. Kedua model di atas berusaha mencari metode yang dapat dipakai untuk menyatakan kebenaran sesuai dengan konteks penerima kebenaran itu. Bagi neoliberal, konteks utama adalah perjuangan politik. Bagi neoortodoksi, konteks utama adalah ketegangan secara dialektis antara sejarah yang terus berjalan dengan firman Tuhan. Dalam proses kontekstualisasi, neoliberal memberikan penghargaan lebih banyak pada insight teolog, sedangkan neoortodoksi memberikan penekanan lebih banyak pada Roh Allah. Hasilnya, model neoliberal adalah hermeneutik politis dari Injil yang mengajak manusia untuk membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik. Hasil dari model neoortodoksi adalah bahwa manusia akan mendapatkan pengertian rohani dan identitas rohani dalam Kristus. Sebaliknya, model ortodoksi adalah akomodasi apostolik. Metode ini berusaha membangun dasar yang sama di mana orang tidak percaya dapat diajar kebenaran dari Injil yang bersifat suprakultural. Hasilnya adalah transformasi dari orang-orang yang beriman kepada Kristus.
Kedua, kategori Bevans. Menurutnya, pada model antropologi budayalah yang mengatur teologi, bukan Kitab Suci atau tradisi. Teologi kontekstual bukan berarti menempatkan anggur lama yang sudah teruji dalam botol yang baru. Teologi kontekstual berarti mengembangkan anggur yang sama sekali baru. Model ini tidak melihat bahwa budaya dapat menjadi jahat atau korup. Sedangkan model penerjemahan mengakui bahwa esensi dari kekristenan adalah suprakultural.26 Oleh karena itu, meskipun budaya diakui penting dan harus diperhitungkan dengan serius, namun pada akhirnya berita yang bersifat suprakultural itulah yang harus menjadi acuan. Dengan kata lain, esensi kekristenan harus dipegang dengan teguh, meskipun pada saat usaha pemeliharaan terhadap esensi kekristenan itu bertentangan dengan budaya.
Pengertian dari model praksis sama dengan model neoliberal (lihat penjelasan model neoliberal di atas). Ini merupakan proses yang terus-menerus seperti sebuah siklus. Sedangkan pelaku model sintetik percaya pada kemampuan aplikasi secara universal dari berita iman Kristen pada setiap budaya. Karakteristik dari model ini adalah keterbukaan dalam berdialog dengan budaya yang lain. Bentuk dialog yang dimaksudkan di sini adalah dalam pengertian Hegelian, yaitu dialektik. Oleh karena itu, berita iman Kristen dapat ditransformasikan dan diperkaya dalam proses dialog itu oleh banyak budaya. Pada model semiotik, Kristus diyakini dapat ditemukan dalam nilai, simbol, dan pola perilaku dalam sebuah budaya, serta dalam situasi dan peristiwa yang memengaruhi budaya. Oleh karena itu, praktisi model semiotik menggunakan simbol, dan tanda serta isu-isu yang sudah dikenal oleh orang-orang yang menjadi penerima dalam pengomunikasian Injil. Pada model transendental, yang menjadi tekanan utamanya adalah pengalaman pribadi. Akibatnya, model transendental bersikeras bahwa praktisi yang paling tepat untuk melakukan teologi kontekstual adalah orang yang berpartisipasi dalam sebuah konteks. Dengan kata lain, praktisi kontekstualisasi harus orang dari budaya itu sendiri.
Ketiga, kategori Gilliland. Kelima kategori Gilliland yang pertama sama dengan yang diajukan oleh Bevans. Tambahan dari Gilliland adalah model kritikal yang diinspirasikan oleh P. Hiebert di mana mereka melihat bahwa setiap model memiliki kekuatannya sendiri dan fungsi yang khusus. Oleh karena itu, pendekatan yang bersifat komprehensif pada kontekstualisasi menuntut penggunaan semua ide dari semua model yang ada sesuai dengan penekanan dan tuntutan situasi tertentu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa ketidaksepakatan di antara para misiolog dan teolog dalam menamai proses kontekstualisasi berkaitan dengan pendekatan mereka yang berbeda pada kontekstualisasi. Setiap model bukan hanya memiliki nama yang berbeda, tetapi juga memiliki arti yang berbeda bagi orang yang berbeda. Benar dan salahnya kontekstualisasi atau baik dan buruknya kontekstualisasi dinilai berdasarkan parameter yang telah ditentukan sebelumnya.
Apabila kita mencermati pembahasan yang telah dikemukakan di atas, maka terlihat dengan jelas bahwa pandangan seseorang terhadap Kitab Suci dan budaya sangat memengaruhi apakah dalam proses kontekstualisasi ia akan menaruh Kitab Suci sebagai acuan terakhir atau budaya yang akan menjadi acuan terakhir. Apabila seseorang melihat kontekstualisasi sebagai proses jual beli teologi yang sudah ada, maka hasilnya adalah teologi yang sama dalam bahasa yang berbeda. Hal di atas sama dengan pengertian akomodasi yang dikemukakan oleh Calvin dalam menjelaskan penyataan Allah di Alkitab, di mana teologi yang sudah ada dilihat sebagai sesuatu yang bersifat normatif. Teologi memang bersumber dari Alkitab, tetapi hal itu tidak boleh menjadikan teologi memiliki otoritas yang sama dengan Alkitab. Alkitab harus selalu menjadi acuan bagi semua teolog dan misiolog dalam berteologi. Termasuk pada waktu merumuskan teologi yang kontekstual atau berita iman Kristen yang kontekstual. Di pihak lain, apabila seseorang melihat kontekstualisasi sebagai proses merumuskan teologi yang kontekstual, maka pertanyaannya adalah apakah Kitab Suci hanya dilihat sebagai sumber dalam merumuskan teologi yang kontekstual. Apabila ini yang dilihat oleh pelaku kontekstualisasi, maka hasilnya adalah teologi yang sesuai dengan konteks, di mana konteks yang menjadi acuannya. Bukankah seharusnya Kitab Suci bukan hanya diperlakukan sebagai sumber, melainkan juga sebagai acuan dalam proses kontekstualisasi. Dengan cara demikian, kita akan menghasilkan teologi yang kontekstual dan Alkitabiah.
Footnote: